Between Words | Devi Sofiyanti







Abadi

Seseorang yang Kini Berada dalam Ketenangan.
Sebuah kerinduan yang akan selalu menghantui.

Untuk seseorang yang pernah kehilangan.

Tiada yang paling menyakitkan, selain kehilangan ia yang begitu kamu cinta.

Kilau baru datang mengusir segala mimpi buruk yang mengganggu tidurmu. Kamu beranjak dari tempat tidurmu, mencoba menepis ingatan-ingatan penuh pilu.

Kursi itu kosong, lalu kamu tersenyum.

Kamu membuatkan minuman hangat untuk dirimu, lalu duduk sendiri. Sepi.

Keheningan seolah menarikmu pada memori saat ia masih di sini.

Saat ia tersenyum ke arahmu setiap pagi datang, saat ia menyiapkanmu sarapan, saat ia mendengarkan ceritamu dengan tenang dan karenanya kamu senang. Kemudian teringat olehmu ketika suaranya begitu mendominasi di telingamu ketika kamu pulang menuju malam, ia mengkhawatirkanmu. Namun, semua itu sekarang hanya bisa dikenang.

Sesekali suaranya seolah mengajakmu berbicara, namun itu hanya khayalmu saja. Sesekali kamu melihat sosoknya tersenyum, tertawa, namun itu hanya bayangan semu saja. Setiap hari semua itu terus berulang. Tak peduli ketika matamu terpejam atau terbuka.

Kamu merindukannya, lebih dari sekedar rindu. Rindu yang tak dapat lagi berbuah temu.

Dapat selalu bertemu di mimpi adalah harapmu. Rindu yang paling sendu juga pilu, rindu abadi sepanjang waktu.

Ingin rasanya kembali menemuinya hanya untuk melihatnya tersenyum.

Meski inginmu lebih.
Kamu ingin bercerita padanya tentang mimpi-mimpimu, tentang orang-orang baru, tentang seseorang yang sedang kamu tunggu, tentang segala hal yang terjadi selepas ia tak lagi denganmu.
Bahkan terkadang kamu ingin memeluknya, karena hanya dia rumah di mana tidurmu lelap dalam dekapnya. Hanya dia, yang lain tak akan pernah mampu.

Bagaimana bisa rindu ini berakhir, sedang dalam dirimu terdapat darahnya mengalir. Darinya kamu terlahir. Dan kamu mencintainya tak akan pernah berakhir. Abadi.

Mencintainya, merindukannya, hingga tiba masanya untuk kamu menyusulnya ke sana.

Sesuatu yang kausebut Abadi.




Raguku


Untuk setiap kata yang tak mampu bersuara.

Semoga tulisan ini cukup mewakilimu untuk bercerita.

Mereka terus menghakimi, melabelimu bak seseorang yang hanya mementingkan diri sendiri. Namun, kamu juga tak dapat menyalahkannya. Sebab, kamu juga bersalah. Kamu juga enggan membuka diri untuk bercerita tentang segala sesuatu, yang pada akhirnya hanya membuatmu menjadi manusia yang begitu takut untuk percaya pada yang lainnya. Kamu terlalu rapat menyimpan segala benang kusut itu dalam kepalamu, bahkan hatimu saja kau abaikan ketika ia hendak memberi saran. Dan, kamu tahu itulah mengapa orang lain menyebutmu tak punya hati.

Tapi di sini, aku tidak akan terlalu menyudutkanmu. Aku mengerti bagaimana rasanya menyimpan segala sesuatu sendiri. Bukan tak percaya pada manusia lain yang selalu mengelilingi, hanya saja akan sangat menyakitkan jika kamu memutuskan untuk berbagi. Bagimu, cukup kamu yang merasakannya sendiri, tak ingin orang lain terbebani dengan jalan pikiranmu yang bahkan sulit kau selami.

Kamu hanya ragu.

Kamu ragu dengan apa yang terjadi. Kamu takut. Takut apa yang kamu jalani hanya sebatas imajinasi. Bahkan saat orang lain melihatmu bahagia, kamu sendiri tak pernah meyakini bahwa kebahagiaan itu nyata. Ketika kamu mulai menyadarinya, kamu kemudian ketakutan. Takut sebab semuanya hanya fana. Dan lagi-lagi kamu ragu; bahagiamu itu nyata atau tidak.

Pada akhirnya, kamu memilih untuk tidak merasakan kebahagiaan itu. Kamu memilih meninggalkannya. Tanpa sadar dengan begitu, kamu juga telah merampas kebahagiaan orang lain. Ya, orang yang menjadi sumber bahagiamu; orang yang juga bahagia bersamamu. Kamu meninggalkannya, sebab kamu teralu takut bahagia. Mungkin hal itu baik bagimu, tapi tidak untuk orang lain.

Hingga kemudian setelah kamu menyuruhnya pergi, keraguan itu mulai bisa terkendali. Kamu mulai dapat menerima bahwa segala sesuatu itu tiada yang abadi. Kamu mulai mencari ke mana dia beranjak setelah kamu menyuruhnya angkat kaki. Namun, dia tak dapat kau jangkau lagi.

Sayup-sayup kau dengar bahwa dia mulai ragu.

Ragu dengan dirimu, seperti apa yang kamu rasakan terhadapnya dulu.

Lalu akhirnya, kamu hanya dapat terpaku.
Namun, sesaat kemudian menyuarakan pilu yang menyelimutimu,

“Perihal keraguanku yang membuatmu ragu.
Keraguan untuk terus bertualang atau pulang. Bimbang diantara harus bersama bersenang-senang atau sendirian mengenang.”

Katamu.

Mungkin hanya itu yang mampu kamu sampaikan.

Kamu boeh bernapas lega. Ragumu kini telah tersuarakan.



Mendengarkan

Aku mendengarkanmu. Ya, mendengarkan.

Aku mendengarkanmu, bahkan ketika kamu tak mampu menyuarakan kata.

Aku mendengarkanmu, jangan khawatir. Aku memang terkadang tak langsung menanggapi keluh kesahmu, tapi percayalah aku selalu mendengarkanmu. Kamu mungkin merasa aneh, tapi bukan kah itu yang kamu perlu? Seseorang yang mendengarkan tanpa menghakimi?  Aku tahu bahwa yang kamu butuhkan bukanlah sebuah jawaban atau sekedar basa-basi belaka, di dengarkan saja sudah lebih dari cukup bagimu.

Aku suka sekali cerita-ceritamu. Harus kamu ketahui bahwa tak merespon bukan berarti tak peduli, aku hanya ingin mendengarkan, tanpa memberi penilaian. Telingaku tak pernah lelah untuk menyambut setiap kata yang kamu ucapkan. Aku menikmatinya, oleh sebab itu tak ada waktu bagiku untuk memikirkan respon mengenai segala apa yang kamu katakan. Bukankah lebih baik aku mendengarkanmu dengan menyelami setiap emosi yang kamu lisankan daripada harus siap siaga memberi respon, tanpa benar-benar paham. Karena kamu sedang bercerita bukan bertanya. Mendengarkan adalah tugasku yang utama.

Aku suka sekali binar matamu ketika kamu bercerita tentang kebahagiaan, tapi aku juga tak kuasa melihat matamu berkaca-kaca karena kesedihan. Sebisa mungkin aku ingin kamu bercerita dengan nyaman, meski terkadang kamu memiliki banyak beban. Namun, berbagilah jangan sungkan.

Aku berkata demikian karena aku juga pernah merasakan. Aku bisa merasakan ketika seseorang mendengarkanku dengan penuh perhatian, dan ketika seseorang mendengarkan hanya untuk memberi jawaban. Jujur, aku lebih nyaman ketika orang tersebut memberiku perhatian tanpa jawaban, dibandingkan harus mendapatkan jawaban tapi ia tak sepenuhnya mendengarkan.

Mungkin opinimu takkan sama denganku, sebab setiap manusia memiliki jalan pikiran yang berbeda. Namun, inilah kejujuran yang dapat aku ungkapkan, semoga kamu dapat menerimanya dengan penuh pengertian.

Jangan pernah merasa diabaikan, aku di sini untuk mendengarkan.

Kamu harus tahu, mendengarkanmu aku tak pernah dilanda bosan.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TEMUKAN SAYA

TERPOPULER

  • BerbicaraTentangBuku: Novel P. S. I Still Love You karya Jenny Han
  • Orang Asing di Sudut Ruangan
  • Lazuardi: Suatu Awal
  • BerbicaraTentangBuku: Kumpulan Cerita Madre karya Dee Lestari
  • Tentang Peter dan Wendy
  • BDHK: Setelah Hari Itu #3
  • Belanja Buku Online di Shopee Mizan Jakarta (mbcjakarta), Untung Besar!
  • Kepada yang menuliskan nama di atas pasir
  • Bertahan pada Pilihan
  • Cerita: Lazuardi [Bagian 1]

KATEGORI

  • #30DaysWritingChallange 10
  • Cerita 24
  • Cerita Bersambung 2
  • DAY 1 : Describe your personality 1
  • Lazuardi 2
  • Puisi 5
  • Serba-serbi Perbukuan 15
  • Tentang Film 5
  • Tentang Kehidupan 41
  • Ulasan Buku 17
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
deefesef
Hi, Devi di sini! Menuliskan apa yang tidak akan pernah dia baca, juga menulis tentang berbagai rasa dan tanya, serta banyak hal lainnya. Temui saya di : @deefesef (Instagram)
Lihat profil lengkapku

ARSIP

  • ►  2023 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2020 (85)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (27)
    • ►  Agustus (16)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
  • ▼  2019 (13)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (4)
    • ▼  Mei (3)
      • Abadi
      • Raguku
      • Mendengarkan
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Januari (1)
  • Beranda
  • Rangkaian Kata
  • Ulasan Buku

© - Devi Sofiyanti | Designed by OddThemes