Cerita: Lazuardi [Bagian 1]

Bagian 1

Cerita bersambung: Lazuardi


Malam tak pernah terasa sesunyi seperti malam ini, bahkan dinginnya hujan sore tadi masih terasa menusuk tulangku. Sendirian dan sedang mencoba melawan sepi, terdengar cukup menyedihkan. Bertahun-tahun sudah aku menempati kamar ini. Jauh dari orang tua dan beberapa orang terkasih lainnya. Aku tidak pernah menyangka akan menjalani hidup seperti ini. Menetap di tempat yang sama sekali tak pernah kupikirkan.

Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku berwarna biru langit yang kuletakan di atas meja kerjaku. Sudah hampir lima tahun buku itu tak pernah kubuka, sesekali memang masih sering kusentuh. Malam ini kuberanikan diri untuk mengambil buku itu dari tempatnya.

“Debu.” Kata itu keluar begitu saja dari mulutku ketika tangan ini mulai memegang buku tersebut.

Aku menghela napas panjang. Perlu ketegaran hati untuk sekadar membaca tulisan-tulisan dalam buku ini.

Pada halaman pertama, tertera identitasku dan sebuah foto yang sengaja kutempelkan di pojok bawah halaman. Foto yang sengaja kucetak dengan warna hitam-putih. Ada senyum terukir di wajahku ketika kulihat potret itu.

Triiing... triiing...

Ponselku berbunyi.

Dengan berat hati aku kembali meletakan buku itu di atas meja dan menghampiri ponselku yang tergeletak di atas tempat tidurku.

“Ibu,” kataku saat melihat layar ponselku. Ibu menelponku, senyum kembali hadir di wajahku.

“Bu?” aku mulai berbicara pada ibu.

“Kamu kapan pulang, Nak?”

Dadaku terasa nyeri ketika mendengar pertanyaan itu. pertanyaan yang jika bisa kuhapuskan dari dunia, maka aku akan menghapuskannya tanpa keraguan sedikit pun. Lidahku kelu dan bibirku terasa kaku setiap kali hendak menjawab pertanyaan itu.

“Nak?” Ibu kembali bersuara.

“Nanti, Bu. Pekerjaan Asa masih banyak.”

“Sa, sudah hampir dua tahun kamu belum pulang.”

“Ibu ‘kan sering jenguk Asa di sini. Baru bulan kemarin kita ketemu, Bu.”

Ibu terdiam.

“Sa, Ibu tahu kamu menghindari sesuatu. Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan. Ibu tidak tahu dan tidak mau tahu hal apa itu, Ibu hanya ingin kamu kembali seperti dulu. Jangan penjarakan kebebasanmu sendiri, Nak.”

Gemuruh semakin menggelegar di dadaku. Aku sudah lama mencoba menutupi masalah ini dari semua orang. Namun, ada satu orang  yang tak bisa kutipu, ia adalah Ibu. Rupanya ibu dapat membaca setiap kata yang kutuliskan dan mendengar kata yang tak kuucapkan.

“Bu, minggu depan Asa pulang.” Kataku akhirnya.

“Akhirnya, Ibu senang mendengarnya, Sa. Ayah, kakak dan adikmu pasti juga senang mendengarnya.” Suara Ibu terdengar penuh bahagia.

Aku tersenyum dalam luka.

Selang beberapa menit setelah kata-kata itu kuucapkan, obrolanku dan Ibu pun berakhir.

Seketika aku merasa menyesal telah mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang beberapa tahun belakangan ini selalu kuhindari. Rasanya, aku masih belum siap untuk kembali ke kota lama itu. Kota yang pertama kali menyambutku sebagai seorang manusia, juga kota yang pertama kali mematahkan hatiku hingga aku merasa tak dapat lagi hidup di sana.

Dalam keheningan dan keraguan, tangisku pecah. Ternyata, alam tak membiarkanku bersedih sendirian. Di kemarau pun, ia datangkan hujan. Memelukku yang sedang berada dalam pusaran kebimbangan.

Entah harus marah, sedih, atau merasa bersalah. Aku tak pernah benar-benar tahu apa yang kurasakan saat ini, kemarin, dan beberapa tahun terakhir ini. Perasaanku tak menentu. Entah ini hukuman atau ujian untukku, aku sudah mulai merasa kelu untuk menerka-nerka rasa yang memang tak pernah kutahu dengan pasti apakah memang ada dalam hatiku atau justru hanya ada dalam imaji yang semu.

Sesak mulai memenuhi rongga dadaku.

“Tak selamanya aku bisa menghindar. Ini kesempatan bagiku untuk kembali hidup seperti dulu.” Aku meyakinkan hatiku.

Segera kuseka air mata yang masih menghias wajahku. Kembali kubuka buku berwarna biru langit itu. Debunya membuatku cukup sulit untuk bernapas, tapi setidaknya tak sesulit saat aku mengingatnya.

Buku ini jadi saksi. Saksi betapa hidup kadang bisa berjalan di luar kendali. Banyak hal yang tak pernah diduga terjadi. Bahkan, seringkali diri sendiri memberi kejutan yang tak mampu diterima oleh hati. Tidak lagi mengerti dengan bagaimana semesta merangkai takdir akan diri ini. Selama itu pula aku selalu mencoba percaya bahwa setiap hal yang kulalui akan baik akhirnya, walau agak sulit untuk menerima.

Halaman kedua kubuka. Ada wajah yang pernah begitu kukenal di sana.

“Aku tak tahu apakah kita akan kembali bertegur sapa, atau akan melanjutkan untuk kembali menghindari jumpa. Aku tak tahu siapa yang sebenarnya bersembunyi. Aku dengan rasa bersalah dalam diri atau kamu yang mulai tak lagi peduli.”

Aku kembali tersenyum. Kali ini senyum getir yang terukir.

"Sampai nanti." Kututup buku itu.


***

Bersambung

 

Cerita ini akan diposting satu minggu sekali. Bisa saja hari sabtu, tapi tak menutup kemungkinan juga untuk mempostingnya di hari minggu.


2 Comments

  1. Cerita nya sih menarik bener ga nya ga tahu gue 😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, makasih. Ini bener atau engga apanya nih? Kurang panjang untuk jadi cerbung kah? Kalo iya, sengaja kupotong sih Wkwk. Masih belajar nulis juga nih.😂

      Hapus