Tentang Rasa Takut

Rasa Takut.



Hai, setelah mendengarkan lagu Nadin Amizah yang berjudul Kereta ini Melaju Terlalu Cepat, akhirnya aku sedikit demi sedikit mampu merangkai kata untuk menjabarkan ketakutanku. 

Sengaja kutulis, mungkin ada di antara kalian yang membaca tulisan ini juga merasakan hal serupa. Biar tidak merasa sendiri, sini sejenak kutemani. 

Ini kutulis lirik lagunya

Kereta ini Melaju Terlalu Cepat 
Nadin Amizah 

Malam kota lamaku
Aku di sini untuk sebentar
Saksi yang tlah berlalu
Lalu tertinggal terpaku ruang

Tawa yang telah pudar dan tua

Bergegas terlalu cepat
Masih takut untuk dicinta
Masih takut untuk saling menerima

Semuanya bepergian
Berlalu lalang, tak karuan
Sebentar perlahan sebentar
Tak kunjung percaya waktu telah berubah

Tawa yang telah pudar dan tua
Digantikan dengan takut dan gundah

Bergegas terlalu cepat
Masih takut untuk dicinta
Masih takut untuk saling menerima

Bergegas terlalu cepat
Pelan dalam menghapus nama
Pelan dalam semua tentang melupakan

Bergegas terlalu cepat
Masih takut untuk dicinta
Masih takut untuk saling menerima

Jumpa aku “di sana”
Entah di mana yang aku maksud
Kereta ini tak gentar
Terus melaju
Aku takut

Mendengarkan lagu di atas membuatku menyadari bahwa aku adalah manusia yang masih banyak takutnya. 

Ketakutan yang sedari dulu terus menghantui. 

Dulu, saat usiaku di bawah dua belas, aku selalu berpikir bahwa semakin tumbuh dewasa, aku akan menjadi orang yang lebih berani. Aku memandang bahwa ketakutan hanya berputar di sekitar rasa takut tidak dapat mengerjakan tugas sekolah, rasa takut tidak bisa pergi bermain bersama teman, takut akan sesuatu yang berkaitan dengan setan, dan beberapa hal lain. Agak konyol, tapi memang begitu.  

Tidak salah. Semua itu adalah bentuk rasa takut yang pasti hinggap di dalam pikiran semua orang. Tapi, ada sesuatu yang salah, yaitu anggapan untuk menjadi seorang pemberani. 

Pada kenyataannya memang begitu. Sebab, aku masih belajar. Belajar untuk menjadi orang itu. Orang yang mereka sebut pemberani, walau rasanya sulit sekali.

Semakin hari, ketakutanku malah semakin menjadi. Dan ketakutan-ketakutan masa kecil mulai tak terlalu memengaruhi. Ada hal-hal yang lebih rumit dari sekadar ketakutan yang dulu terlihat jelas di mata kecilku yang masih jernih. 

Rasa takutku kini semakin bervariasi dan lebih dalam lagi. 

Ketakutan akan apa?

Akan hidup dan segala yang melekat padanya. Kurang lebih begitu.

Aku tidak lagi terlalu takut perihal bayang-bayang ketakutan masa kecil, yang kutakutan berubah menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Apakah hal itu akan membawaku “ke sana”? 

Seperti kata Nadin, “Jumpa aku di sana. Entah di mana yang aku maksud, kereta ini tak gentar, terus melaju. Aku takut.”

Jika ada yang bertanya “ke sana” itu kemana, maka aku pun akan menjawab tidak tahu. 

Nah, dari situ sudah terlihat dengan jelas ketakutanku. Aku tak tahu tujuanku. 

Bukankah hidup itu perjalanan dan setiap orang memiliki tujuannya masing-masing? Aku belum memiliki itu dan itulah yang kutakutkan.

Akan jadi apa, akan ke mana, akan dengan siapa. 

Kata-kata yang tampak biasa saja, tapi menyimpan ketakutan yang luar biasa.

Jujur, saat menuliskan ini perasaanku tak karuan. Sedih dan senang, putus asa dan memiliki harapan, serta segala yang bertolak belakang sedang berkecamuk dalam pikiran. Mengkhawatirkan sesuatu yang belum jelas. Bisa dikatakan begitu. 

“Kamu punya Tuhan Yang Maha Mengatur Segala Urusan.” 

Mungkin akan ada yang berkomentar demikian. Tapi, bukan itu. Bukan begitu maksudku. Aku percaya Tuhan, aku yakin pada-Nya. Namun, sebagai manusia kita juga diberi pilihan dan pilihan-pilihan itulah yang menakutkan. 

Aku takut terjerumus pada yang salah.

Beberapa minggu lalu aku sempat berbincang dengan seorang teman, tentang hal-hal yang kami takutkan. Dari situ, lagi-lagi aku menyadari bahwa aku tak sendiri. Kami sama-sama ketakutan ketika menyadari bahwa masa kanak-kanak sudah jauh kami tinggalkan. 

Terlebih, sekarang kami dikejar banyak tuntutan, serupa beban. Sayangnya, kami masih belum siap, semuanya terasa terlalu cepat bagi kami. 

Kalau kata Nadin,
Bergegas terlalu cepat
Masih takut untuk dicinta
Masih takut untuk saling menerima

Seperti itulah, waktu berganti secepat kilat sementara diri ini masih takut dicinta, sebab tahu bahwa luka adalah sisi lain darinya. Masih takut untuk saling menerima, sebab itu tak semudah seperti ketika kita mengucap sebuah kata.

Bergegas terlalu cepat
Pelan dalam menghapus nama
Pelan dalam semua tentang melupakan

Dan saat kata-kata di atas Nadin nyanyikan, aku benar-benar merasa bahwa aku tak sendirian. Sebelumnya aku selalu menyalahkan diri sendiri, karena amat lamban dalam menghapus nama, lambatnya melupakan dan cenderung senang menyimpan. Aku takut. Takut tak mampu beranjak ke tempat lain, sebab lama merasa nyaman berdiri di atas ingatan yang tak seharusnya dijadikan kenangan. Tapi ternyata, banyak yang juga sama-sama mengalaminya.

Semuanya bepergian
Berlalu lalang, tak karuan
Sebentar perlahan sebentar
Tak kunjung percaya waktu telah berubah

Tawa yang telah pudar dan tua
Digantikan dengan takut dan gundah

Begitulah kehidupan, selalu diisi dengan lalu-lalang. Pelan namun pasti semuanya akan tergantikan, waktu terus berjalan, sedangkan aku masih belum sepenuhnya mampu berdamai dengan setiap perubahan. Tawa kini diselingi dengan cemas, takut dan gundah tak kunjung lepas. 

Sekarang, di sini kita harus mulai memilih segala sesuatu sendirian, baik buruk itulah yang sering kita timbang kemudian. Menjadi seorang anak yang memiliki ketakutan itu rasanya menyenangkan, tapi beranjak dewasa dengan ketakutan itu cukup menyeramkan. 

Si kecil tak banyak tahu, takutnya sedikit.
Beranjak dewasa ia semakin banyak tahu, semakin banyak takut.
Dunia lebih buas dari yang ia kira.

Dan kita sama-sama tahu bahwa kereta ini melaju terlalu cepat. Aku tak tahu tujuan pastiku, tapi aku yakin kereta ini akan mengantarkanku ke suatu tempat yang indah dan kita akan berjumpa di sana untuk kemudian saling bertukar cerita tentang lika-liku sebuah perjalanan. 

Aku tahu aku takut,
Aku tahu kita takut, 
Dan takut ada untuk menyambut hal-hal baik. Begitu, bukan?

Semoga.

Terima kasih Nadin untuk lagunya yang indah. Yang mampu mengutarakan rasa mewakili kami semua.

0 Comments