Raguku




Raguku


Untuk setiap kata yang tak mampu bersuara.

Semoga tulisan ini cukup mewakilimu untuk bercerita.

Mereka terus menghakimi, melabelimu bak seseorang yang hanya mementingkan diri sendiri. Namun, kamu juga tak dapat menyalahkannya. Sebab, kamu juga bersalah. Kamu juga enggan membuka diri untuk bercerita tentang segala sesuatu, yang pada akhirnya hanya membuatmu menjadi manusia yang begitu takut untuk percaya pada yang lainnya. Kamu terlalu rapat menyimpan segala benang kusut itu dalam kepalamu, bahkan hatimu saja kau abaikan ketika ia hendak memberi saran. Dan, kamu tahu itulah mengapa orang lain menyebutmu tak punya hati.

Tapi di sini, aku tidak akan terlalu menyudutkanmu. Aku mengerti bagaimana rasanya menyimpan segala sesuatu sendiri. Bukan tak percaya pada manusia lain yang selalu mengelilingi, hanya saja akan sangat menyakitkan jika kamu memutuskan untuk berbagi. Bagimu, cukup kamu yang merasakannya sendiri, tak ingin orang lain terbebani dengan jalan pikiranmu yang bahkan sulit kau selami.

Kamu hanya ragu.

Kamu ragu dengan apa yang terjadi. Kamu takut. Takut apa yang kamu jalani hanya sebatas imajinasi. Bahkan saat orang lain melihatmu bahagia, kamu sendiri tak pernah meyakini bahwa kebahagiaan itu nyata. Ketika kamu mulai menyadarinya, kamu kemudian ketakutan. Takut sebab semuanya hanya fana. Dan lagi-lagi kamu ragu; bahagiamu itu nyata atau tidak.

Pada akhirnya, kamu memilih untuk tidak merasakan kebahagiaan itu. Kamu memilih meninggalkannya. Tanpa sadar dengan begitu, kamu juga telah merampas kebahagiaan orang lain. Ya, orang yang menjadi sumber bahagiamu; orang yang juga bahagia bersamamu. Kamu meninggalkannya, sebab kamu teralu takut bahagia. Mungkin hal itu baik bagimu, tapi tidak untuk orang lain.

Hingga kemudian setelah kamu menyuruhnya pergi, keraguan itu mulai bisa terkendali. Kamu mulai dapat menerima bahwa segala sesuatu itu tiada yang abadi. Kamu mulai mencari ke mana dia beranjak setelah kamu menyuruhnya angkat kaki. Namun, dia tak dapat kau jangkau lagi.

Sayup-sayup kau dengar bahwa dia mulai ragu.

Ragu dengan dirimu, seperti apa yang kamu rasakan terhadapnya dulu.

Lalu akhirnya, kamu hanya dapat terpaku.
Namun, sesaat kemudian menyuarakan pilu yang menyelimutimu,

“Perihal keraguanku yang membuatmu ragu.
Keraguan untuk terus bertualang atau pulang. Bimbang diantara harus bersama bersenang-senang atau sendirian mengenang.”

Katamu.

Mungkin hanya itu yang mampu kamu sampaikan.

Kamu boeh bernapas lega. Ragumu kini telah tersuarakan.

2 Comments