Between Words | Devi Sofiyanti




Untuk seseorang yang perlahan menghilang,

Selamat hari rabu, sudah lama sekali aku tak pernah mendapat kabar tentang keadaanmu. Di mana kamu hari ini? Di tempat yang jauh dari sini, ya?

Kamu menghilang, kita menjadi begitu asing. Aku tak tahu bagaimana lagi caraku agar bisa mengetahui bahwa kamu baik-baik saja hari ini.

Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu aman. Tiada yang menyakitimu seperti aku.

Semoga harimu menyenangkan. Oh, ya, apa yang kamu pikirkan tentang aku hari ini? Apa kamu pikir aku bahagia telah melepaskanmu? Jawabannya, tidak. Tidak.

Aku tak pernah sedikit pun ingin beranjak dari kamu. Tidak. Hanya saja aku harus dapat melindungimu, dari diriku. Aku tak ingin membuatmu terus bersedih karena bersamaku. Aku tak pernah berniat untuk meninggalkanmu.

Aku memutuskan pergi karena tak ingin terus menyakiti. Aku tak ingin keanehan sikapku membuatmu tersakiti. Aku bukan seperti mereka, yang dengan mudahnya mampu menunjukkan rasa cintanya. Aku tak pernah bisa seperti itu. Aku tak pernah bisa menjadi apa yang kamu mau. Aku tak ingin membuatmu berharap begitu banyak padaku, yang jelas-jelas tak mampu memberi sedikit pun.

Aku ingin kamu, hanya kamu, tetap kamu, selalu kamu.

Tapi aku sadar, kamu sudah tidak mau. Dan aku sudah tidak mempermasalahkan itu. Jika bukan kamu, mungkin seseorang yang bukan kamu akan mampu mengerti aku seperti yang kamu lakukan dulu.

Mungkin kamu kecewa pada keputusanku hari itu, tapi hanya itu yang aku mampu. Aku percaya bahwa di luar sana akan ada seseorang yang dapat mengerti kamu melebihi aku. aku percaya bahwa di luar sana ada orang yang akan setia menemanimu. Tak seperti aku.

Ini sudah kedua kalinya aku melakukan hal yang sama. Melepaskan orang-orang yang membuatku bahagia, hanya karena aku tak ingin membuatnya terluka.

Maaf yang tak tehingga untuk hal itu.
Aku tahu bahwa caraku salah. Tapi, hanya itu yang membuatku berhenti resah.
Bukan salahmu. Kamu tak pernah melakukan kesalahan apapun. Bagiku kamu sempurna.
Bukan pula aku tak punya rasa yang sama. Aku juga rasa, apa yang kamu rasa.
Hanya saja aku belum mampu mengendalikan kebebasanku, aku masih belum mampu bersepakat dalam suatu ikatan. Maaf.
Aku tahu hal itu menyakitimu. Tapi, aku juga menyakiti diriku sendiri.

Melepas genggaman tangan yang pernah erat,
Kemudian membangun sekat,
Lalu diujung kalimat,
Aku menyebutnya tamat.

Bodoh memang, namun sekarang aku mulai belajar untuk menghargai apa yang aku punya dan mulai membiasakan diriku dengan ikatan, agar kelak aku tak akan lagi mengecewakan seseorang.

Untuk kamu,
Terimakasih, sebab pernah datang.



Hilang

Tak pernah terdengar lagi orang menyebut namanya, apalagi mendengar suaranya.
Dia tidak di sini, tempat kami telah berbeda.
Dia dengan dunianya, aku pun di sini dengan duniaku.

Tentangku di hidupnya hanya tinggal sebuah nama dengan cerita, tak lebih. Namun, tentangnya di hidupku lebih dari itu. Entah mengapa aku selalu menganggap dia lebih dari seharusnya. Meski di mataku dia tak pernah lagi bercermin. Di telingaku, ia tak pernah lagi bersuara. Tapi di pikiranku, ia selalu berhasil menjadi sesuatu yang tak pernah kulupa.

Ingin sekali sehari saja tidak mengingatnya. Sayangnya, itu terlalu sulit.

Ia selalu muncul sesaat setelah aku memejamkan mata. Seolah dekat, namun tak pernah bertatap. Jauh, namun selalu ada.

Aku pikir ini gila.

Tapi aku terlalu berlebihan jika mengatakan ini gila, sebab di luar sana banyak orang yang mengalami hal serupa. Banyak temu palsu yang sengaja dihadirkan rindu di mimpimu. Begitu kan?

Bayangkan, jika ia terus menghantui tanpa pernah menemui.

Mungkin akan banyak sekali tulisan yang mewakili.

Semakin lama, semakin tak terkendali.

Entahlah. Aku heran, mengapa aku tak pernah bosan menjadikannya sebagai bahasan.

Harusnya aku mengerti bahwa sebanyak apapun tulisanku, tak pernah ada satu pun yang akan dia baca. Harusnya aku mengerti sebanyak apapun tulisanku, tak akan pernah membuatnya mengerti. Harusnya aku mengerti sebanyak apapun tulisanku, tak akan pernah membuatnya kembali.

Tak ingin memiliki, tapi ingin dia ada di sini.

Aku hanya ingin itu. Tapi kenapa harus serumit ini?

Entahlah. Kami telah berbeda.
Tak lagi satu.
Kami adalah dua berbeda
Yang melepas diri dari kata satu.










Sesuatu yang kau sebut utuh.

Kita terlalu.

Berlebihan.

“Aku setengah, sedang kamu tiga per empat.” Kataku.

Kamu tersenyum. “Bukankah itu tak masalah? Kita lebih dari penuh.”

“Oleh sebab itu, kita bermasalah.”

“Bagaimana bisa?”

“Sesuatu yang kurang, itu buruk. Yang seimbang, itu pas. Namun, kita lebih. Terlalu. Itu tidak baik.”

Aku berhenti berbicara.

Kamu melakukan hal yang sama. Kita hening.

Harusnya kamu tahu bahwa yang dibutuhkan di sini bukanlah siapa yang memberi lebih, melainkan yang saling melengkapi dengan porsi yang sama, agar tak terjadi ketimpangan. Jika aku satu per empat dan kamu tiga per empat, mungkin kita akan utuh, tapi aku takkan pernah merasa penuh. Begitu pun sebaliknya.

Berbeda apabila kamu setengah dan aku pun setengah. Biar tak ada yang merasa paling hebat diantara kita. Biar tak ada yang merasa kurang diantara kita. Biar kita cukup. Saling mengisi.

Dan bagiku kamu banyak kata terlalu.

Dalam warna pun begitu.
Kamu terlalu abu untuk aku yang ragu,
Kamu terlalu biru untuk aku yang pilu,
Kamu terlalu hitam untuk aku yang muram.
Jangan tambahkan bunga yang berguguran, sebab aku takkan berubah pikiran.
Kita banyak kata ‘terlalu’ sehingga sulit menyatu.

Berlebihan.
Jika abu, biru, hitam yang terlalu pekat membentuk gelap, apa yang bisa kudapat?

Sendu. Sedih.

Kelam.
Kita buram.

Bayangkan jika kamu memberikan warna-warna itu sesuai porsinya. Tidak terlalu gelap. Mungkin ketenangan yang akan kudapat. Namun, lagi-lagi kamu selalu memberiku yang ‘terlalu’ banyak.

Kita saling mengisi, namun kamu selalu mendominasi.

Tak utuh.
Sebab terlalu penuh.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TEMUKAN SAYA

TERPOPULER

  • BerbicaraTentangBuku: Novel P. S. I Still Love You karya Jenny Han
  • Orang Asing di Sudut Ruangan
  • Lazuardi: Suatu Awal
  • BerbicaraTentangBuku: Kumpulan Cerita Madre karya Dee Lestari
  • Tentang Peter dan Wendy
  • BDHK: Setelah Hari Itu #3
  • Belanja Buku Online di Shopee Mizan Jakarta (mbcjakarta), Untung Besar!
  • Kepada yang menuliskan nama di atas pasir
  • Bertahan pada Pilihan
  • Cerita: Lazuardi [Bagian 1]

KATEGORI

  • #30DaysWritingChallange 10
  • Cerita 24
  • Cerita Bersambung 2
  • DAY 1 : Describe your personality 1
  • Lazuardi 2
  • Puisi 5
  • Serba-serbi Perbukuan 15
  • Tentang Film 5
  • Tentang Kehidupan 41
  • Ulasan Buku 17
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
deefesef
Hi, Devi di sini! Menuliskan apa yang tidak akan pernah dia baca, juga menulis tentang berbagai rasa dan tanya, serta banyak hal lainnya. Temui saya di : @deefesef (Instagram)
Lihat profil lengkapku

ARSIP

  • ►  2023 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2020 (85)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (27)
    • ►  Agustus (16)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
  • ▼  2019 (13)
    • ►  Desember (1)
    • ▼  Juli (3)
      • Untuk yang Pernah Datang
      • Hilang
      • Utuh
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Januari (1)
  • Beranda
  • Rangkaian Kata
  • Ulasan Buku

© - Devi Sofiyanti | Designed by OddThemes