Untuk yang Pernah Datang




Untuk seseorang yang perlahan menghilang,

Selamat hari rabu, sudah lama sekali aku tak pernah mendapat kabar tentang keadaanmu. Di mana kamu hari ini? Di tempat yang jauh dari sini, ya?

Kamu menghilang, kita menjadi begitu asing. Aku tak tahu bagaimana lagi caraku agar bisa mengetahui bahwa kamu baik-baik saja hari ini.

Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu aman. Tiada yang menyakitimu seperti aku.

Semoga harimu menyenangkan. Oh, ya, apa yang kamu pikirkan tentang aku hari ini? Apa kamu pikir aku bahagia telah melepaskanmu? Jawabannya, tidak. Tidak.

Aku tak pernah sedikit pun ingin beranjak dari kamu. Tidak. Hanya saja aku harus dapat melindungimu, dari diriku. Aku tak ingin membuatmu terus bersedih karena bersamaku. Aku tak pernah berniat untuk meninggalkanmu.

Aku memutuskan pergi karena tak ingin terus menyakiti. Aku tak ingin keanehan sikapku membuatmu tersakiti. Aku bukan seperti mereka, yang dengan mudahnya mampu menunjukkan rasa cintanya. Aku tak pernah bisa seperti itu. Aku tak pernah bisa menjadi apa yang kamu mau. Aku tak ingin membuatmu berharap begitu banyak padaku, yang jelas-jelas tak mampu memberi sedikit pun.

Aku ingin kamu, hanya kamu, tetap kamu, selalu kamu.

Tapi aku sadar, kamu sudah tidak mau. Dan aku sudah tidak mempermasalahkan itu. Jika bukan kamu, mungkin seseorang yang bukan kamu akan mampu mengerti aku seperti yang kamu lakukan dulu.

Mungkin kamu kecewa pada keputusanku hari itu, tapi hanya itu yang aku mampu. Aku percaya bahwa di luar sana akan ada seseorang yang dapat mengerti kamu melebihi aku. aku percaya bahwa di luar sana ada orang yang akan setia menemanimu. Tak seperti aku.

Ini sudah kedua kalinya aku melakukan hal yang sama. Melepaskan orang-orang yang membuatku bahagia, hanya karena aku tak ingin membuatnya terluka.

Maaf yang tak tehingga untuk hal itu.
Aku tahu bahwa caraku salah. Tapi, hanya itu yang membuatku berhenti resah.
Bukan salahmu. Kamu tak pernah melakukan kesalahan apapun. Bagiku kamu sempurna.
Bukan pula aku tak punya rasa yang sama. Aku juga rasa, apa yang kamu rasa.
Hanya saja aku belum mampu mengendalikan kebebasanku, aku masih belum mampu bersepakat dalam suatu ikatan. Maaf.
Aku tahu hal itu menyakitimu. Tapi, aku juga menyakiti diriku sendiri.

Melepas genggaman tangan yang pernah erat,
Kemudian membangun sekat,
Lalu diujung kalimat,
Aku menyebutnya tamat.

Bodoh memang, namun sekarang aku mulai belajar untuk menghargai apa yang aku punya dan mulai membiasakan diriku dengan ikatan, agar kelak aku tak akan lagi mengecewakan seseorang.

Untuk kamu,
Terimakasih, sebab pernah datang.

0 Comments