Utuh





Sesuatu yang kau sebut utuh.

Kita terlalu.

Berlebihan.

“Aku setengah, sedang kamu tiga per empat.” Kataku.

Kamu tersenyum. “Bukankah itu tak masalah? Kita lebih dari penuh.”

“Oleh sebab itu, kita bermasalah.”

“Bagaimana bisa?”

“Sesuatu yang kurang, itu buruk. Yang seimbang, itu pas. Namun, kita lebih. Terlalu. Itu tidak baik.”

Aku berhenti berbicara.

Kamu melakukan hal yang sama. Kita hening.

Harusnya kamu tahu bahwa yang dibutuhkan di sini bukanlah siapa yang memberi lebih, melainkan yang saling melengkapi dengan porsi yang sama, agar tak terjadi ketimpangan. Jika aku satu per empat dan kamu tiga per empat, mungkin kita akan utuh, tapi aku takkan pernah merasa penuh. Begitu pun sebaliknya.

Berbeda apabila kamu setengah dan aku pun setengah. Biar tak ada yang merasa paling hebat diantara kita. Biar tak ada yang merasa kurang diantara kita. Biar kita cukup. Saling mengisi.

Dan bagiku kamu banyak kata terlalu.

Dalam warna pun begitu.
Kamu terlalu abu untuk aku yang ragu,
Kamu terlalu biru untuk aku yang pilu,
Kamu terlalu hitam untuk aku yang muram.
Jangan tambahkan bunga yang berguguran, sebab aku takkan berubah pikiran.
Kita banyak kata ‘terlalu’ sehingga sulit menyatu.

Berlebihan.
Jika abu, biru, hitam yang terlalu pekat membentuk gelap, apa yang bisa kudapat?

Sendu. Sedih.

Kelam.
Kita buram.

Bayangkan jika kamu memberikan warna-warna itu sesuai porsinya. Tidak terlalu gelap. Mungkin ketenangan yang akan kudapat. Namun, lagi-lagi kamu selalu memberiku yang ‘terlalu’ banyak.

Kita saling mengisi, namun kamu selalu mendominasi.

Tak utuh.
Sebab terlalu penuh.

0 Comments