Dunia Sibuk

Sebuah tulisan untuk menutup lembaran kisah di 2019.




Dunia sibuk.

Aku duduk memperhatikan orang berlalu lalang. Mereka sibuk dengan perannya masing-masing. Beberapa ada yang melintas sambil tersedu dengan langkah berat. Beberapa tertawa lepas karena lelucon yang lucunya tak seberapa. Beberapa melintas dengan senyum merekah tanpa sedikit pun mengeluarkan suara, seolah ada kebahagiaan yang sulit diucapkan kata-kata. Di sudut lain, ada seseorang yang menangis histeris karena seluruh harapannya sirna. Di depanku seseorang tak henti-hentinya mengucap syukur dan meneteskan air mata, seperti bahagianya nyaris sempurna. Ada juga yang melintas dengan wajah cemas, meski banyak pula yang melintas sambil menyeret, memikul, mendorong semua beban mereka dengan senyum menghias wajahnya. Ada yang pada akhirnya pasrah, ada yang bahkan enggan untuk menyerah.

Mereka berjalan seolah tak peduli dengan satu sama lain, beberapa sejenak memperhatikan lalu kembali sibuk dengan seribu urusan, sedikit yang mengamati dan duduk di sisi untuk berbagi senyuman, tawa, dan tangis yang menyelimuti.

Ah, entahlah.
Semua sibuk dengan suka dan dukanya. Dengan drama yang begitu banyak genrenya.

Sedang aku, hanya berdiamkah?

Bisa jadi begitu.

Namun, dalam kepalaku berkecamuk segala pemikiran-pemikiran yang terkadang sulit dimengerti oleh diriku sendiri. Dari mana asalnya? Tak tahu pasti.
Aku memendam. Aku tak hanya berdiam. Aku mengamati apa yang terjadi.
Dari sekian banyak wajah yang kutemui, diam-diam aku bertanya dalam hati. Apakah mereka tak seperti apa yang nampak itu? Sebab, diriku pun tak seperti apa yang kutampilkan. Mungkinkah mereka menangis seolah sengsara, tetapi sebetulnya bahagia, hanya saja mereka tak mampu menyadarinya? Atau justru mereka tersenyum seolah bahagia, namun menyimpan luka yang sakitnya tak terkira, sebab nanar ada di matanya. Ah, aku semakin bimbang.

Apakah aku, apakah kamu, apakah dia, sudah menjadi yang sebenarnya atau masih senang memendam dan menyembunyikan?

Sudahlah, tak apa jika memang kita masih belum dapat terbuka. Orang-orang banyak yang tidak peduli pula. Hanya beberapa jika ada.

Untuk kita, untuk segala yang tak dapat tersampaikan dengan sempurna, berterima kasihlah pada diri yang selalu berusaha menjadi teman setia di segala cuaca. Tangis dan tawa.

Mungkin tak ada teman untuk berbagi, tapi mampu mengatasinya seorang diri. Hebat.
Namun, di balik itu semua, mereka bukan tak peduli pada apa yang terjadi, mereka hanya sibuk menghadapi dirinya sendiri. Jangan salahkan mereka meskipun tak turut menyembuhkan luka dan menemani ketika berbagi bahagia.

Kita hanya manusia.

Tak bisa sempurna.





0 Comments