Alasan


Alasan.

Tentang sebuah titik yang tak juga mengakhiri kalimat.

Matamu, sesuatu yang mustahil kutatap lagi.
Hadirmu hanya nyata di ruang imaji.
Kata temu bila disandingkan dengan kamu, ialah yang akan selalu kuhindari.

Sepenggal kata di atas barangkali sedikit mewakili kegelisahan dalam diriku, meski hanya sedikit. Sedikit, kutegaskan sekali lagi. Rasa gundah yang tak tahu kapan akan berhenti. Entah sudah berapa kali kalender di kamarku berganti. Tetap saja ada yang tak mampu kutinggal pergi. Selalu mengikuti.

Jujur, jika ada tombol untuk mengakhiri, tanpa ragu akan segera kuhampiri. Aku ingin semua ini segera usai cukup sampai di sini. Tak ingin lebih lama lagi terbebani dengan hal-hal yang mungkin sudah tak berarti. Walaupun jauh di dalam benakku, ingin rasanya membuat hal itu menjadi sesuatu yang abadi. Namun, ternyata hanya pilu yang rajin menemani. Sudahlah, tak harus ada yang tersisa di ruang yang tak mungkin lagi ditempati.

Itulah mengapa banyak jumpa kulewatkan. Kegundahan yang jadi jawaban dari pertanyaan yang tak pernah kamu lontarkan, tapi diam-diam aku harapkan. Rasa resah yang tak pernah bosan mengajakku untuk hanyut dalam aliran kenangan, lalu menenggelamkan dalam ribuan hal yang seharusnya tak pernah lagi singgah di pikiran.

Kamu baragkali tidak pernah berpikir sejauh ini.
Jelas, kamu tidak lagi peduli.
Bagaimana pun, kita hanya tumpukan memori.
Tapi aku terlalu terobsesi.
Hingga seringkali tak kuasa dipermainkan emosi.
Terperangkap, lalu merasa asing sendiri.

Dari sekian kata yang kutulis di atas, apakah kamu bisa mengerti bahwa alasanku adalah tentang ketidakmampuanku dalam menghapus kamu. Hal yang seharusnya aku lakukan jauh-jauh hari sebelum hari ini. Kamu harus tahu bahwa hal itu menjadi kegelisahan yang sangat membuatku merasa tidak aman. Tapi, sayangnya kamu tak pernah bertanya perihal itu, sehingga jawabanku pun mungkin tak akan pernah sampai kepadamu. Yang tak meminta, terkadang akan merasa biasa saja jika diberi. Sebab, tak ada yang ia inginkan. Lalu, apa yang harus diapresiasi?

Apakah kamu juga sama?

Sungguh, aku tak keberatan jika kamu berkata bahwa tak perlu alasan, karena apa yang telah terlewatkan hanya tinggal dalam ingatan. Tak seharusnya diungkit pada rasa tenang yang kini sudah didapatkan. Terlalu menyakitkan. Lagi pula, kita sudah menemukan kesenangan masing-masing.

Memang.

Namun, entah mengapa aku merasa ingin menuliskannya. Sebab, ia keterlaluan. Mengganggu tidurku semalaman, datang disaat tengah nyaman berbincang dengan teman, bahkan hadirnya akan lebih sering jika sedang tak ada yang dikerjakan. Aku tak mampu lagi menahan. Hari ini sengaja kulepaskan.

Katamu ini berlebihan? Aku tak menyalahkan. Memang kenyataan.

Kamu diam saja. Tidak perlu bicara. Tak perlu bersuara. Kukira kamu pun tak berminat melakukannya. Sudah, maafkan aku yang mudah terbawa suasana.

Hanya ini yang kusampaikan.

Dari sekian banyak kegelisahan yang memaksa untuk dicairkan lewat tulisan.

0 Comments