Between Words | Devi Sofiyanti

Berbicara tentang buku.

Sekilas tentang Novel Matilda karya Roald Dahl

Judul : Matilda

Penulis : Roald Dahl

Jumlah halaman : 300 halaman

Tahun terbit : Cetakan I, Agustus 2018

ISBN : 978-602-385-306-9

Penerbit : Penerbit Noura

 

Matilda

Covernya lucu, didominasi oleh warna merah muda dan biru. Fontnya khas buku anak banget menurutku. Ilustrasinya juga cantik. Suka banget lihatnya!

Ini fotonya:

Matilda karya Roald Dahl


Di belakang buku ini tertulis:

“KAMI MELIHAT MISS TRUNCHBULL MENYAMBAR KUCIR SEORANG GADIS dan MELEMPARKANNYA MELEWATI PAGAR TAMAN BERMAIN.”

“Popularitas Roald Dahl yang fenomenal di antara anak-anak menunjukkan daya tariknya dalam bercerita yang akan membuat siapa pun terpukau. Matilda sama sekali tidak mengecewakan.”—Publishers Weekly Review

Gimana, menarik bukan?

Pertama kali melihat buku ini dari instastories salah satu Bookstagrammer, hanya saja aku lupa siapa. Tapi aku benar-benar berterima kasih kepada yang sudah membagikan informasi tentang buku ini, karena dari situ akhirnya aku bisa membaca buku keren ini. Dan aku sangat setuju dengan review yang mengatakan bahwa buku ini tidak mengecewakan. Bagiku, Matilda luar biasa.

Kisah ini dimulai dari pengenalan para tokoh lewat ilustrasi, sebelum memasuki cerita. Di bagian awal buku ini, aku dibuat kagum oleh sosok Matilda. Saat berusia tiga tahun, Matilda sudah mengajari dirinya sendiri membaca dan pada umur empat tahun, dia bisa membaca cepat dan lancar. Sayangnya, ia hidup di tengah keluarga yang tidak menghargainya. Ibunya seorang pemain Bingo dan ayahnya penjual mobil bekas. Orangtua Matilda terlalu sibuk dengan kehidupan konyolnya, sehingga tidak menyadari betapa istimewa putrinya. Namun sepertinya bukan tidak menyadari, tapi tidak peduli. Bahkan, segala yang Matilda lakukan rasanya selalu salah di mata orangtua dan kakakknya. Sedih dan kesel banget bacanya.

Di pertengahan cerita, kita akan disuguhkan dengan cerita keseharian Matilda di sekolah. Di mana ia bertemu dengan Lavender yang kemudian menjadi teman dekatnya, Miss Honey yang baik hati, dan Miss Trunchbull yang sadis tiada tara dan paling kejam sejagat raya, fix. Aku suka sekali bagian ini, karena pada akhirnya ada seseorang yang dapat menghargai kemampuan Matilda, yaitu Miss Honey. Tapi di bagian ini pun aku masih sering geram karena perlakuan Trunchbull.

Dan bagian terakhir adalah bagian yang paling aku sukai. Banyak hal-hal yang mengejutkan. Bagian di mana aku mengetahui bahwa Matilda memiliki sesuatu yang istimewa di dalam dirinya. Ia ternyata bisa menggerakan benda hanya dengan kekuatan pikiran dan matanya. Di bagian terakhir ini pula aku mengetahui latar belakang Miss Honey. Hal itu membuatku makin menyukai karakternya. Hanya saja sangat disayangkan karena sampai di akhir cerita orangtua Matilda masih belum mampu memahami anaknya. Beruntungnya ada Miss Honey yang selalu ada untuk Matilda.

 

***

Oh iya, membaca buku ini sebenarnya gak memakan banyak waktu. Dalam waktu sehari atau bahkan sekali duduk pun sepertinya bisa, karena isinya ini banyak ilustrasinya. Sayangnya, aku setiap membaca ini selalu ketiduran, jadi ya... agak lama wkwk.

Matilda juga terbagi menjadi 21 bagian, jadi semakin gak kerasa membacanya. Berasa... balik beberapa halaman, tahu-tahu selesai. Asyik banget pokoknya.

Ceritanya ngalir banget. Banyak juga pesan yang bisa diambil dari buku ini. Ceritanya senang, sedih, lucu, kesel, semua campur jadi satu. Bener-bener direkomendasiin deh buat yang ingin bacaan ringan dan menghibur, hehe. Aku sangat terhibur dengan pembawaan Matilda yang polos tapi cerdas, bijak, dan jahil, hihi. 

Cerita dan ilustrasinya klop banget. Ini salah satu buku anak yang harus dibaca oleh orang dewasa.

Matilda juga ada filmnya dan dua-duanya menurutku baguuus.

Rate: 5/5

Sekian pengalaman membaca dan pendapatku mengenai buku Matilda karya Roald Dahl. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.

 

Tiga Alasan Mengapa Harus Menulis Ulasan Buku

 

Tiga Alasan Mengapa Harus Menulis Ulasan Buku

Hai, selamat pagi, siang, sore, malam!

Kali ini aku bakal membahas alasan mengapa kita harus menulis ulasan buku. Langsung saja baca tulisan di bawah ini, yuk!


1.      Agar Tidak Lupa Apa yang Kita Baca

Aku adalah salah satu manusia yang dengan mudahnya dapat melupakan hal-hal yang harus diingat dan mengingat hal-hal yang harus dilupakan, oleh sebab itu aku tergerak untuk mulai membuat ulasan. Mungkin ulasanku masih acak-acakan, tidak jelas dan berbelit-belit, tapi setidaknya jika suatu saat nanti aku lupa dengan cerita apa yang telah aku baca, aku bisa kembali membaca ulasan yang kutulis tersebut dan perlahan-lahan mengingatnya. Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku bisa menyukai suatu buku, tapi lupa kejadian-kejadian di dalamnya. Yang kuingat hanya sebatas perasaan ketika aku membacanya, ada yang sama?

Nah, dari situ aku memutuskan untuk menulis ulasan sederhana.

Tips ini bisa dicoba untuk kalian yang memiliki permasalahan yang sama denganku

 

2.   Untuk Melatih Diri Kita dalam Menyampaikan Informasi Lewat Tulisan

Poin dua ini sangat berguna lho untuk keterampilan menulis kita. Walaupun tulisanku masih tidak jelas, tapi dengan cukup sering menulis ulasan buku, aku mulai terbiasa untuk menyusun kata-kata. Aku yakin, kita pasti pernah memiliki ide yang bagus di kepala tapi ketika berusaha menuliskan ide tersebut, kata-kata seakan tidak mampu menjabarkannya. Kita bingung apa yang harus kita tulis, nah karena itulah dengan sering menulis ulasan buku kita akan lebih sering juga menuangan pemikiran atau informasi yang kita dapatkan dari buku tersebut ke dalam kata-kata, sehingga kita akan mulai terbiasa untuk menuangkan apa yang ada di dalam pikiran ke dalam sebuah tulisan. Kalo kata orang-orang sih, bisa karena terbiasa, hehe.

 

3.   Untuk Merekomendasikan Buku Kepada Orang Lain

Kalo sudah selesai membaca buku bagus, gak rela ‘kan kalo orang lain gak dikasih tahu? Buku bagus harus dibaca oleh lebih banyak orang, oleh karena itu, salah satu cara untuk merekomendasikan buku bagus adalah dengan menulis ulasan tentang buku tersebut, lalu kamu bagikan di goodreads, blog, instagram, facebook, dan sebagainya. Orang-orang akan membaca ulasan tersebut dan menjadi tertarik untuk ikut membaca buku bagus itu. jadi semakin banyak yang tahu deh. Aku juga merupakan salah satu orang yang suka mencari rekomendasi buku dari ulasan orang lain dan aku juga mudah sekali tergoda dengan buku-buku yang diulas orang lain, apalagi jika ia berkata bahwa buku tersebut bagus. Secara tidak langsung,  hal itu berarti membuat kita ikut membantu orang lain dengan memberikan informasi yang mereka butuhkan.

 

Itulah tiga alasan mengapa kita harus menulis ulasan buku. Selain dapat membantu diri kita sendiri, hal itu juga dapat membantu orang lain, lho! Yuk, habis baca langsung menulis ulasan dan membagikannya kepada teman-teman.

Semoga tulisan ini bermanfaat, ya!

Sampai jumpa di tulisan-tuisan lainnya!

 Manfaat Menjadi Bookstagrammer




Manfaat Menjadi Bookstagrammer

Beberapa hari ini banyak sekali aktivitas yang harus dikerjakan, tapi senangnya hari ini bisa menyempatkan diri (sok sibuk memang) untuk kembali menulis dan berbagi informasi yang semoga bermanfaat ya, hehe.

Oke, pada tulisan kali ini aku akan membahas mengenai hal apa saja yang akan kamu dapatkan jika menjadi bookstagrammer atau biasa disebut manfaat, atau juga keuntungan, hehe. Hmmm, kira-kira aku yang menulis ini sudah bisa dianggap bookstagrammer belum, ya? Anggap saja sudah ya, wkwk.

Di bawah ini aku akan menuliskan beberapa hal yang akan kita dapatkan jika kita menjadi bookstagrammer.

1.     1.  Rekomendasi Bacaan

Ini adalah keuntungan atau manfaat pertama yang akan kamu rasakan. Mungkin awalnya kamu hanya tahu beberapa judul buku dan mengenal beberapa penulis saja, tetapi jika kamu sudah masuk ke dalam dunia bookstagram, kamu akan mendapatkan banyak sekali rekomendasi bacaan. Mulai dari penulis lokal sampai internasional. Mulai dari cerita anak-anak sampai buku non-fiksi. Wah, asyik banget ‘kan?

Aku sendiri sudah merasakan manfaat yang satu ini. Aku jadi banyak mengenal banyak penulis dan buku-bukunya yang tentunya keren-keren banget!

Oh iya, banyak banget para bookstagrammer yang setiap mengulas buku pasti akan membuatmu ingin membaca buku itu juga.

2.      2. Info Diskon Buku atau Buku Murah Bertaburan

Poin ini adalah hal yang paling menyenangkan. Yap, dengan memasuki dunia bookstagram kita juga akan lebih mudah mendapatkan informasi tentang diskon-diskon buku, toko buku murah dan berkualitas, bahkan gak jarang para bookstagrammer juga ada yang menjual buku-buku koleksi pribadinya dengan harga yang jauh dari harga normal dengan kualitas buku yang masih oke, lho.

3.     3.  Mendapatkan Teman Baru

Bukan hanya mendapatkan rekomendasi bacaan saja, lho. Kadang bacaan juga bisa merekomendasikan seseorang untuk kita jadikan teman, wkwk. Ini juga merupakan hal yang paling aku sukai. Mungkin di sunia nyata di sekeliling kita sangat jarang sekali menemukan seseorang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan kita. Namun, di dunia bookstagram ini kita akan lebih mudah menemukan orang-orang yang satu frekuensi dengan kita. Jadi lebih mudah dan nyaman dalam berdiskusi tentang buku.

 

4.   4. Mudah Mendapatkan Infomasi Terbaru Mengenai Perbukuan

Ini juga salah satu keuntungan menjadi bookstagrammer, kita jadi lebih update terhadap dunia perbukuan. Asyik banget ‘kan? Apalagi jika melihat penulis favoritmu mengeluarkan buku baru. Jadi yang terdepan deh, hehe. Maih banyak juga informasi penting lainnya tentang buku yang bisa kamu dapatkan jika kamu menjadi seoarng bookstagrammer.

5.    5.   Info Giveaway Merajalela

Siapa yang tidak suka giveaway? Aku yakin pasti gak ada. Nah, karena banyak sekali teman-teman bookstagram yang selalu membagikan info-info giveaway, hal itu tentunya membuat kita jadi tidak perlu susah payah lagi mencari akun-akun yang sedang mengadakan giveaway. Peluang untuk ikutan dan menang menjadi lebih besar, yeaaay. Gimana, seru ‘kan?

 

Manfaat mana yang paling kamu sukai?

Sebetulnya masih banyak manfaat menjadi bookstagrammer yang lainnya, sayangnya aku sudah mengantuk malam ini. Kucukupkan sekian, ya. Bisa juga untuk menambahkan manfaat lainnya di kolom komentar. Sampai jumpa lagiii!

Cerita: Lazuardi [Bagian 2]

Lazuardi, cerita bersambung


Satu minggu kemudian, kakiku sudah berdiri tegak di depan sebuah rumah yang warna catnya sudah tak lagi kukenal. Dua tahun rupanya sudah mengubah banyak hal. Rumah sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Di halaman depan kini banyak bunga-bunga, katanya adikku yang meminta.

Semua anggota keluargaku bergantian memelukku erat ketika melihat diriku kini sudah berdiri persis di depan mereka.

Tanpa banyak bicara, mereka langsung membawaku ke dalam rumah. Lagi-lagi aku dikejutkan dengan penataannya yang jauh berbeda dari sebelumnya. Selama bertahun-tahun aku hidup di sini, mengapa rumah ini baru berubah sekarang.

“Kamu pasti sedikit kebingungan. Rumah sudah tak seperti dulu.” Ayah seolah dapat membaca pikiranku.

Aku mengangguk.

“Jangan bingung. Anggap saja dengan begini kamu bisa merasa lebih nyaman untuk tinggal di sini lagi.” Ibu menatapku lekat. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya bersembunyi dalam manik hitam milik Ibu. Aku tidak tahu apa yang telah Ibu tahu.

“Aku selalu nyaman tinggal di sini, Bu.”

“Kamu adalah anak yang tak rela jika harus berpisah dengan rumahmu ini dalam jangka waktu yang cukup lama, tapi akhir-akhir ini kamu berbeda. Kamu tidak mungkin meninggalkan tempat ini tanpa alasan pasti. Ada sesuatu yang menahanmu untuk tidak ke sini,” Ibu memotong kata-katanya,  “Sudah, lupakan.” Ibu tersenyum.

Aku dapat merasakan kekhawatiran dan kebingungan di mata mereka semua.

Ya, aku memang tak dapat berada jauh dari rumah untuk jangka waktu yang lama. Aku adalah salah satu manusia yang tak dapat terpisah dari rumahnya. Saat kuliah, aku lebih memilih untuk pulang setiap akhir pekan hanya untuk merasakan suasana rumah. Rasa lelah sudah tak dapat lagi mencegah. Namun, dua tahun ini berbeda. Dua tahun ini, aku terpaksa harus meninggalkan rumah. Mencoba mencari suasana baru di tempat yang lama menahanku untuk tak selalu merindu setiap kali bayangan tentang rumah mengganggu pikiranku.

Dengan langkah yang sedikit gemetar, aku melangkahkan kakiku menuju kamar. Kamar yang dulu selalu setia menjadi tempatku bersembunyi dari ramainya dunia yang tanpa henti memaksaku untuk terus mengikuti dinamikanya. Ada rasa rindu dan ragu ketika tanganku menyentuh tempat tidur. Separuh jiwaku menginginkan aku berada di sini, sementara sebagian lainnya tak pernah mau menerima kenyataan bahwa pada akhirnya ego dapat kukalahkan.

“Kemarin aku ketemu dia, Kak.”

Aku menoleh begitu mendengar kata-kata tersebut.

Vionna, adikku satu-satunya perlahan melangkahkan kakinya memasuki ruang kamarku.

“Tutup pintunya!” kataku.

“Kemarin, aku melihat dia. Ada sesuatu yang sepertinya kita tidak tahu, Kak. Dia mungkin tidak seperti apa yang selama ini kita kira.”

“Jangan asal bicara! Aku lebih tahu banyak hal tentangnya daripada kamu.” mataku berkaca-kaca.

“Kak?”

“Satu hal lagi, jangan pernah membicarakan apapun lagi tentang dia! Menahun aku menahan rindu dengan kalian hanya karena manusia itu!” Tanpa sadar tanganku melayang dan mendarat tepat di wajah  adikku, menyisakan merah lebam di pipinya. Air mata mulai menggenang di sudut mataku, begitu pula di matanya.

Dengan penuh rasa bersalah aku memeluk adikku. Seharusnya aku tidak seegois ini.

“Kak, aku minta maaf.”

“Kamu tidak melakukan kesalahan apapun.”

Aku tahu, aku telah melakukan salah satu hal terbodoh di dunia. Aku tak mau melepaskan diriku dari belenggu masa lalu yang seharusnya sudah lama tak lagi tinggal di dalam pikiranku. Aku terjerat dalam jaring yang kutenun sendiri. Aku telah mengorbankan banyak hal hanya demi memuaskan egoku. Aku dengan sengaja menjebak diriku dalam labirin yang kubangun sendiri. Aku menyiska diriku dengan penuh kesadaran. Aku mengakui, aku bodoh.

Tak lama dari kejadian itu, adikku meninggalkanku sendiri. Satu hal yang aku sukai darinya, ia tak pernah menyimpan dendam dalam dirinya. Berkali-kali aku bersikap tak menyenangkan padanya, berkali-kali ia memaafkanku. Berkali-kali pula aku harus menanggung malu. Usiaku lebih tua dari usianya, tapi kuakui ia lebih dewasa.

Ini semua seharusnya tak pernah terjadi, jika aku tak mengenal seseorang bernama Lazuardi. Ya, dia yang membuatku menjadi manusia yang keras hati. Entahlah, mungkin saja kali ini aku sedang berusaha mencari pembenaran atas kesalahan diri sendiri atau memang dia menjadikanku manusia yang sukar memahami.

Dulu, kami bersama secara sembunyi-sembunyi. Sampai dua tahun lalu, aku memberanikan diri mengenalkannya kepada keluargaku. Saat itu, aku berpikir aku sudah cukup dewasa untuk mengenal tentang cinta. Aku masih mengingat dengan jelas momen itu, momen di mana aku resmi melepas statusku sebagai mahasiswa. Hari di mana aku merasa sangat bahagia dan kepalaku dipenuhi dengan rencana masa depan yang ternyata sampai detik ini beberapa belum terwujud, beberapa lainnya sepertinya memang sudah tidak bisa.

Namun, hari bahagia itu tak berlangsung lama. Dua minggu kemudian, sebuah amplop berwarna coklat tergeletak di atas meja ruang tamu. Namaku tertera pada amplop itu. Tanpa ragu, aku membukanya.

“Undangan pernikahan?” aku tersenyum begitu melihat tulisan itu. Ada salah satu temanku yang memilih untuk tidak lagi sendiri, pikirku.

Lazuardi & Sandarra

Mataku terbelalak.

Jadi ini isinya? Jantungku seolah melemah ketika membaca tulisan itu. Otakku seperti membeku, tak bisa memikirkan apapun untuk sementara waktu. Tulisan yang terukir dengan penuh keindahan tapi menyayat hatiku dengan sangat menyakitkan. Ingin tak percaya, tapi ini kenyatannya. Sakit.

Masih terekam dengan jelas di memoriku, sebuah pesan kukirimkan kemudian padanya, meminta kejelasan. Apa yang kudapatkan? Hanya jawaban singkat yang memuakkan. Namun, aku tak berhenti sampai di situ, aku kembali mengirimkan pesan padanya. Kembali meminta kejelasan.

Kamu tahu kenapa? Bertahun-tahun lamanya kita bersama tapi kamu tidak pernah memikirkan kita. Segala tentangmu selalu jadi yang paling utama. Tentangku? Sepertinya tak pernah sedikit pun terlintas di pikiranmu. Jujur, aku mulai tidak nyaman dengan apa yang kamu lakukan. Kamu selalu memikirkan dirimu dan kebahagiaanmu. Aku tahu, ini pasti sulit bagimu, tapi maaf ini adalah pilihanku. Aku tidak bisa bersama dengan orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Aku juga manusia yang ingin bahagia. Sayangnya, hal itu tidak pernah aku dapatkan ketika aku bersamamu.

Balasan yang cukup mengejutkan untukku. Air mataku mengalir deras membasahi pipi. Jadi, selama ini aku terlalu memikirkan diriku sendiri sampai seseorang yang kupikir akan selamanya menemani ternyata memilih untuk pergi. Mungkin tidak akan pernah kutemui lagi.

Dari situ, aku mulai kehilangan kendali. Kota ini, kota tempatku mengenalnya pertama kali, jadi tempat yang paling kubenci.

“Kak,” suara Vionna menyadarkanku dari ingatan masa lalu.

“Iya?”

“Ada pesan.”

“Dari?”

“Kak Di.”

Deg. Kali ini jantungku berdegup kencang. Di adalah panggilan akrab Lazuardi. Dulu, aku sering mengucap nama itu.

“Katanya, dia besok ke sini.”

“Untuk apa?”

Vionna hanya menggelengkan kepalanya.

“Kamu masih sering berhubungan sama dia?”

“Baru kali ini, Kak.” Kata Vionna, “sepertinya dia tahu Kakak ada di sini.”

Aku menarik napas panjang. Untuk apalagi dia datang kemari?

 

***

Bersambung

 

Cerbung ini akan diposting satu minggu sekali. Bisa saja hari sabtu, tapi tak menutup kemungkinan juga untuk mempostingnya di hari minggu. 


Sebelumnya 

Bagian 1 klik di sini


 Tips Agar Tidak Terlalu Sering Membeli Buku

Tips Agar Tidak Terlalu Sering Beli Buku


Banyak banget dari kita yang ternyata seringkali gak bisa menahan diri untuk sejenak rehat dari rutinitas membeli buku, apalagi kalo banyak diskon seperti saat ini. Beberapa bulan belakangan ini, aku merasa bahwa diskon buku berhamburan dimana-mana, dan sebagai salah satu manusia yang memiliki ketertarikan terhadap buku, aku pribadi rasanya gak bisa nahan. Ingin selalu beli, beli, dan beli lagi.

Di tulisan kali ini, aku akan membagikan beberapa tips ala-ala agar kita tidak terlalu sering membeli buku. Hal yang sedang aku terapkan juga kepada diriku. Mulai sedikit berhasil. Walaupun bukuku masih sedikit, tapi akhir-akhir ini aku merasa terlalu sering membeli buku, jadi aku memutuskan untuk sedikit mengurangi rutinitas itu. Jika kalian memiliki permasalahan yang sama, yuk simak tips agar tidak terlalu sering membeli buku ala diriku di bawah ini, ya!

1.     1.  Ingat buku-buku yang belum kamu baca

Ini dia tips pertama. Ingat buku-buku yang belum kamu baca, dengan begitu kamu akan berpikir bahwa jika kamu terus membeli buku dan menumpuknya, semakin lama tumpukan itu akan semakin tinggi dan kamu malah kewalahan sendiri. Semoga dengan mengingat hal ini, kamu bisa berhenti sejenak dari rutinitas yang sesungguhnya memang sangat menyenangkan. Alangkah lebih baik apabila kamu memutuskan untuk membaca terlebih dahulu timbunanmu sebelum membeli buku baru. Menurut pengalamanku, ketika aku terus menerus membeli buku sebelum menyelesaikan buku yang sudah kubeli sebelumnya, aku malah kesulitan untuk menyelesaikan buku tersebut, kenapa? Karena tergoda ingin membaca buku yang baru, hehe. Coba bayangkan jika kamu terus menerus membeli buku, bisa-bisa semua bukumu gak selesai dibaca. Tips ini mungkin tidak berlaku untuk kaum-kaum pembaca yang konsisten, tapi sangat berlaku untuk pembaca labil sepertiku.

 

2.    2.   Ingat tabunganmu yang sudah menipis

Nah, ini perlu banget! Jangan sampai tabunganmu untuk kebutuhan-kebutuhan mendesak jadi diambil alih oleh hasrat belanja bukumu yang semakin hari semakin tinggi. Tips ini memang gak begitu memberikan efek bagi anak sultan, tapi percayalah ini sangat penting bagi kita semua. Bagi sebagian orang, buku memang sudah dimasukkan ke dalam daftar kebutuhan pokok, tapi meskipun begitu, gak baik juga kalo kita harus sampai menguras tabungan hingga tetes terakhir demi memuaskan keinginan kita untuk membeli buku. Sewajarnya saja ya, kawan. Tabunganmu jangan sampai terkuras habis. Ingat, kita itu manusia yang banyak kebutuhannya.

 

3.    3.   Jangan mudah tergiur diskon

Sulit, sulit sekali. Aku tahu rasanya ketika melihat diskon bertebaran, bawaannya ingin langsung meluncur memborong semua buku-buku yang diskon itu. Namun, jangan sampai kalap keterlaluan ya, kawan. Gak bisa dipungkiri bahwa ketika melihat diskon buku yang sangat amat mantap alias jauh banget dari harga normalnya kita pasti akan tergiur. Hal itu membuat kita jarang berpikir panjang, lalu tanpa sadar sudah check out saja. Memang kelihatannya itu hal biasa, tapi pernah gak sih kalian membeli buku yang sebenarnya gak kalian inginkan hanya karena tergiur diskon yang membuat harga buku jadi murah tak tertahankan? Kalo pernah, tips ini wajib kamu terapkan. Kalo tidak, kamu hebat dapat menahan godaan sebesar ini. Sayang ‘kan kalo ujung-ujungnya buku itu hanya jadi pajangan~

 

Itulah tiga tips ala-ala yang sedang berusaha aku terapkan dalam kehidupanku. Nah, semoga tips ini juga berguna untuk kalian, ya! Tips-tips ini muncul dari pengalamanku sendiri. Barangkali ada dari kalian yang juga merasa terlalu sering membeli buku dan mulai merasa tidak nyaman dengan rutinitas itu, kalian bisa coba tips ala-ala ini. Semoga berhasil!

Bagian 1

Cerita bersambung: Lazuardi


Malam tak pernah terasa sesunyi seperti malam ini, bahkan dinginnya hujan sore tadi masih terasa menusuk tulangku. Sendirian dan sedang mencoba melawan sepi, terdengar cukup menyedihkan. Bertahun-tahun sudah aku menempati kamar ini. Jauh dari orang tua dan beberapa orang terkasih lainnya. Aku tidak pernah menyangka akan menjalani hidup seperti ini. Menetap di tempat yang sama sekali tak pernah kupikirkan.

Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku berwarna biru langit yang kuletakan di atas meja kerjaku. Sudah hampir lima tahun buku itu tak pernah kubuka, sesekali memang masih sering kusentuh. Malam ini kuberanikan diri untuk mengambil buku itu dari tempatnya.

“Debu.” Kata itu keluar begitu saja dari mulutku ketika tangan ini mulai memegang buku tersebut.

Aku menghela napas panjang. Perlu ketegaran hati untuk sekadar membaca tulisan-tulisan dalam buku ini.

Pada halaman pertama, tertera identitasku dan sebuah foto yang sengaja kutempelkan di pojok bawah halaman. Foto yang sengaja kucetak dengan warna hitam-putih. Ada senyum terukir di wajahku ketika kulihat potret itu.

Triiing... triiing...

Ponselku berbunyi.

Dengan berat hati aku kembali meletakan buku itu di atas meja dan menghampiri ponselku yang tergeletak di atas tempat tidurku.

“Ibu,” kataku saat melihat layar ponselku. Ibu menelponku, senyum kembali hadir di wajahku.

“Bu?” aku mulai berbicara pada ibu.

“Kamu kapan pulang, Nak?”

Dadaku terasa nyeri ketika mendengar pertanyaan itu. pertanyaan yang jika bisa kuhapuskan dari dunia, maka aku akan menghapuskannya tanpa keraguan sedikit pun. Lidahku kelu dan bibirku terasa kaku setiap kali hendak menjawab pertanyaan itu.

“Nak?” Ibu kembali bersuara.

“Nanti, Bu. Pekerjaan Asa masih banyak.”

“Sa, sudah hampir dua tahun kamu belum pulang.”

“Ibu ‘kan sering jenguk Asa di sini. Baru bulan kemarin kita ketemu, Bu.”

Ibu terdiam.

“Sa, Ibu tahu kamu menghindari sesuatu. Ibu tahu ada yang kamu sembunyikan. Ibu tidak tahu dan tidak mau tahu hal apa itu, Ibu hanya ingin kamu kembali seperti dulu. Jangan penjarakan kebebasanmu sendiri, Nak.”

Gemuruh semakin menggelegar di dadaku. Aku sudah lama mencoba menutupi masalah ini dari semua orang. Namun, ada satu orang  yang tak bisa kutipu, ia adalah Ibu. Rupanya ibu dapat membaca setiap kata yang kutuliskan dan mendengar kata yang tak kuucapkan.

“Bu, minggu depan Asa pulang.” Kataku akhirnya.

“Akhirnya, Ibu senang mendengarnya, Sa. Ayah, kakak dan adikmu pasti juga senang mendengarnya.” Suara Ibu terdengar penuh bahagia.

Aku tersenyum dalam luka.

Selang beberapa menit setelah kata-kata itu kuucapkan, obrolanku dan Ibu pun berakhir.

Seketika aku merasa menyesal telah mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang beberapa tahun belakangan ini selalu kuhindari. Rasanya, aku masih belum siap untuk kembali ke kota lama itu. Kota yang pertama kali menyambutku sebagai seorang manusia, juga kota yang pertama kali mematahkan hatiku hingga aku merasa tak dapat lagi hidup di sana.

Dalam keheningan dan keraguan, tangisku pecah. Ternyata, alam tak membiarkanku bersedih sendirian. Di kemarau pun, ia datangkan hujan. Memelukku yang sedang berada dalam pusaran kebimbangan.

Entah harus marah, sedih, atau merasa bersalah. Aku tak pernah benar-benar tahu apa yang kurasakan saat ini, kemarin, dan beberapa tahun terakhir ini. Perasaanku tak menentu. Entah ini hukuman atau ujian untukku, aku sudah mulai merasa kelu untuk menerka-nerka rasa yang memang tak pernah kutahu dengan pasti apakah memang ada dalam hatiku atau justru hanya ada dalam imaji yang semu.

Sesak mulai memenuhi rongga dadaku.

“Tak selamanya aku bisa menghindar. Ini kesempatan bagiku untuk kembali hidup seperti dulu.” Aku meyakinkan hatiku.

Segera kuseka air mata yang masih menghias wajahku. Kembali kubuka buku berwarna biru langit itu. Debunya membuatku cukup sulit untuk bernapas, tapi setidaknya tak sesulit saat aku mengingatnya.

Buku ini jadi saksi. Saksi betapa hidup kadang bisa berjalan di luar kendali. Banyak hal yang tak pernah diduga terjadi. Bahkan, seringkali diri sendiri memberi kejutan yang tak mampu diterima oleh hati. Tidak lagi mengerti dengan bagaimana semesta merangkai takdir akan diri ini. Selama itu pula aku selalu mencoba percaya bahwa setiap hal yang kulalui akan baik akhirnya, walau agak sulit untuk menerima.

Halaman kedua kubuka. Ada wajah yang pernah begitu kukenal di sana.

“Aku tak tahu apakah kita akan kembali bertegur sapa, atau akan melanjutkan untuk kembali menghindari jumpa. Aku tak tahu siapa yang sebenarnya bersembunyi. Aku dengan rasa bersalah dalam diri atau kamu yang mulai tak lagi peduli.”

Aku kembali tersenyum. Kali ini senyum getir yang terukir.

"Sampai nanti." Kututup buku itu.


***

Bersambung

 

Cerita ini akan diposting satu minggu sekali. Bisa saja hari sabtu, tapi tak menutup kemungkinan juga untuk mempostingnya di hari minggu.


Bertahan pada Pilihan

Bertahan pada Pilihan

Menurutmu, hal apa saja yang sulit di muka bumi ini?

Menurutku, salah satunya adalah perkara bertahan pada pilihan.

Iya, itu.

Kata mereka, yang sulit adalah memilih, tapi rupanya mereka lupa bahwa bertahan pada pilihan adalah salah satu hal yang paling sulit dilakukan. Pernahkah kalian merasa salah menjatuhkan pilihan, lalu menyesalinya kemudian?

Pernah, bukan?

Selanjutnya, apakah kalian bertahan pada pilihan itu, atau justru menyerah karena merasa telah melakukan kesalahan?

Kurasa semua orang pasti pernah merasakannya. Dari mulai permasalahan kecil seperti salah memilih pakaian, menu untuk sarapan, sampai hal-hal besar perihal memilih pekerjaan, sekolah, bahkan pasangan. Aku sendiri pernah beberapa kali merasa salah dalam mengambil keputusan. Namun, aku tahu bahwa terkadang ada beberapa kesalahan yang justru menuntun kita pada kebaikan. Semua pilihan itu hal baik dan menyenangkan. Aku yakin.

Aku pernah merasa begitu menyesali sebuah keputusan, tapi juga enggan jika harus meninggalkan. Aku pernah merasa begitu salah dalam melangkah, tapi masih juga enggan untuk mengubah arah. Aku memang pernah salah dalam memilih, tapi aku juga enggan untuk beralih.

Lalu, apakah semua alasan itu tak cukup menguatkan diri untuk bertahan?

Dengan begitu, tidak ada pilihan yang salah bukan?

Yang perlu kita lakukan adalah bertahan.

Memang, tak semua pilihan layak untuk dipertahankan, ada beberapa yang memang terpaksa harus kamu runtuhkan. Namun, banyak dari kita yang menjadikan alasan tersebut untuk menyalahkan keadaan, untuk menghindar dari apa yang tak mampu kita selesaikan.

Jika masih ada keyakinan, jangan ragu untuk bertahan.

Mungkin sulit, beberapa malah terkesan rumit, tapi itu tak selamanya pahit.

Ada hal-hal yang harus kamu genggam erat, ada yang harus kamu bentengi dengan sekat. Sekali lagi kutegaskan bahwa bertahan pada pilihan adalah tentang keyakinan.

Bertahan pada pilihan.

Tak mudah, juga tidak susah. Berserah, namun tak menyerah. Yakin bahwa kebaikan ada dalam setiap tindakan yang tak merugikan bagi kehidupan.

Bertahan pada pilihan adalah menerima. Menerima bahwa segala yang telah kita pilih harus kita perjuangkan. Kadang lelah datang, bimbang menghampiri, sakit menyayat hati, tapi itu bukan berarti di depan sana tak ada bahagia yang menanti.

Jangan takut untuk bertahan pada pilihan. Meski begitu, jangan ragu pula untuk melepaskan pilihan yang akan menyakitimu kemudian. Yang patut kamu pertahankan adalah sesuatu yang kamu yakini di dalamnya ada kebaikan. Namun, jika pilihan itu hanya mampu mengundang kamu untuk terus melakukan kesalahan-kesalahan, lebih baik jangan teruskan. Banyak pilihan yang patut dipertahankan, banyak pula yang tak layak diperjuangkan.

Semua adalah tentang keyakinan.

Hanya kamu dan hatimu yang berhak memutuskan, kapan harus bertahan dan kapan harus melepaskan.

 

 

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TEMUKAN SAYA

TERPOPULER

  • Pengalaman Beli Buku di Grobmart
  • Film Pendek di Disney+ Hotstar yang Wajib Kamu Tonton!
  • BerbicaraTentangBuku: Novel The Magic Library (Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken) karya Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup
  • Mendengarkan
  • Raguku
  • Cara Membedakan Buku Asli dan Bajakan
  • Cara Mengatasi Rasa Jenuh Saat Membaca
  • Cerita: Lazuardi [Bagian 1]
  • BerbicaraTentangBuku: Matilda karya Roald Dahl
  • Diriku yang Aku Kenal

KATEGORI

  • #30DaysWritingChallange 10
  • Cerita 24
  • Cerita Bersambung 2
  • DAY 1 : Describe your personality 1
  • Lazuardi 2
  • Puisi 5
  • Serba-serbi Perbukuan 15
  • Tentang Film 5
  • Tentang Kehidupan 41
  • Ulasan Buku 17
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
deefesef
Hi, Devi di sini! Menuliskan apa yang tidak akan pernah dia baca, juga menulis tentang berbagai rasa dan tanya, serta banyak hal lainnya. Temui saya di : @deefesef (Instagram)
Lihat profil lengkapku

ARSIP

  • ►  2023 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ▼  2020 (85)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ▼  Oktober (7)
      • BerbicaraTentangBuku: Matilda karya Roald Dahl
      • Tiga Alasan Mengapa Harus Menulis Ulasan Buku
      • Manfaat Menjadi Bookstagrammer
      • Cerita: Lazuardi [Bagian 2]
      • Tips Agar Tidak Terlalu Sering Membeli Buku
      • Cerita: Lazuardi [Bagian 1]
      • Bertahan pada Pilihan
    • ►  September (27)
    • ►  Agustus (16)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
  • ►  2019 (13)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Januari (1)
  • Beranda
  • Rangkaian Kata
  • Ulasan Buku

© - Devi Sofiyanti | Designed by OddThemes