Cerita: Lazuardi [Bagian 2]

Cerita: Lazuardi [Bagian 2]

Lazuardi, cerita bersambung


Satu minggu kemudian, kakiku sudah berdiri tegak di depan sebuah rumah yang warna catnya sudah tak lagi kukenal. Dua tahun rupanya sudah mengubah banyak hal. Rumah sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Di halaman depan kini banyak bunga-bunga, katanya adikku yang meminta.

Semua anggota keluargaku bergantian memelukku erat ketika melihat diriku kini sudah berdiri persis di depan mereka.

Tanpa banyak bicara, mereka langsung membawaku ke dalam rumah. Lagi-lagi aku dikejutkan dengan penataannya yang jauh berbeda dari sebelumnya. Selama bertahun-tahun aku hidup di sini, mengapa rumah ini baru berubah sekarang.

“Kamu pasti sedikit kebingungan. Rumah sudah tak seperti dulu.” Ayah seolah dapat membaca pikiranku.

Aku mengangguk.

“Jangan bingung. Anggap saja dengan begini kamu bisa merasa lebih nyaman untuk tinggal di sini lagi.” Ibu menatapku lekat. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya bersembunyi dalam manik hitam milik Ibu. Aku tidak tahu apa yang telah Ibu tahu.

“Aku selalu nyaman tinggal di sini, Bu.”

“Kamu adalah anak yang tak rela jika harus berpisah dengan rumahmu ini dalam jangka waktu yang cukup lama, tapi akhir-akhir ini kamu berbeda. Kamu tidak mungkin meninggalkan tempat ini tanpa alasan pasti. Ada sesuatu yang menahanmu untuk tidak ke sini,” Ibu memotong kata-katanya,  “Sudah, lupakan.” Ibu tersenyum.

Aku dapat merasakan kekhawatiran dan kebingungan di mata mereka semua.

Ya, aku memang tak dapat berada jauh dari rumah untuk jangka waktu yang lama. Aku adalah salah satu manusia yang tak dapat terpisah dari rumahnya. Saat kuliah, aku lebih memilih untuk pulang setiap akhir pekan hanya untuk merasakan suasana rumah. Rasa lelah sudah tak dapat lagi mencegah. Namun, dua tahun ini berbeda. Dua tahun ini, aku terpaksa harus meninggalkan rumah. Mencoba mencari suasana baru di tempat yang lama menahanku untuk tak selalu merindu setiap kali bayangan tentang rumah mengganggu pikiranku.

Dengan langkah yang sedikit gemetar, aku melangkahkan kakiku menuju kamar. Kamar yang dulu selalu setia menjadi tempatku bersembunyi dari ramainya dunia yang tanpa henti memaksaku untuk terus mengikuti dinamikanya. Ada rasa rindu dan ragu ketika tanganku menyentuh tempat tidur. Separuh jiwaku menginginkan aku berada di sini, sementara sebagian lainnya tak pernah mau menerima kenyataan bahwa pada akhirnya ego dapat kukalahkan.

“Kemarin aku ketemu dia, Kak.”

Aku menoleh begitu mendengar kata-kata tersebut.

Vionna, adikku satu-satunya perlahan melangkahkan kakinya memasuki ruang kamarku.

“Tutup pintunya!” kataku.

“Kemarin, aku melihat dia. Ada sesuatu yang sepertinya kita tidak tahu, Kak. Dia mungkin tidak seperti apa yang selama ini kita kira.”

“Jangan asal bicara! Aku lebih tahu banyak hal tentangnya daripada kamu.” mataku berkaca-kaca.

“Kak?”

“Satu hal lagi, jangan pernah membicarakan apapun lagi tentang dia! Menahun aku menahan rindu dengan kalian hanya karena manusia itu!” Tanpa sadar tanganku melayang dan mendarat tepat di wajah  adikku, menyisakan merah lebam di pipinya. Air mata mulai menggenang di sudut mataku, begitu pula di matanya.

Dengan penuh rasa bersalah aku memeluk adikku. Seharusnya aku tidak seegois ini.

“Kak, aku minta maaf.”

“Kamu tidak melakukan kesalahan apapun.”

Aku tahu, aku telah melakukan salah satu hal terbodoh di dunia. Aku tak mau melepaskan diriku dari belenggu masa lalu yang seharusnya sudah lama tak lagi tinggal di dalam pikiranku. Aku terjerat dalam jaring yang kutenun sendiri. Aku telah mengorbankan banyak hal hanya demi memuaskan egoku. Aku dengan sengaja menjebak diriku dalam labirin yang kubangun sendiri. Aku menyiska diriku dengan penuh kesadaran. Aku mengakui, aku bodoh.

Tak lama dari kejadian itu, adikku meninggalkanku sendiri. Satu hal yang aku sukai darinya, ia tak pernah menyimpan dendam dalam dirinya. Berkali-kali aku bersikap tak menyenangkan padanya, berkali-kali ia memaafkanku. Berkali-kali pula aku harus menanggung malu. Usiaku lebih tua dari usianya, tapi kuakui ia lebih dewasa.

Ini semua seharusnya tak pernah terjadi, jika aku tak mengenal seseorang bernama Lazuardi. Ya, dia yang membuatku menjadi manusia yang keras hati. Entahlah, mungkin saja kali ini aku sedang berusaha mencari pembenaran atas kesalahan diri sendiri atau memang dia menjadikanku manusia yang sukar memahami.

Dulu, kami bersama secara sembunyi-sembunyi. Sampai dua tahun lalu, aku memberanikan diri mengenalkannya kepada keluargaku. Saat itu, aku berpikir aku sudah cukup dewasa untuk mengenal tentang cinta. Aku masih mengingat dengan jelas momen itu, momen di mana aku resmi melepas statusku sebagai mahasiswa. Hari di mana aku merasa sangat bahagia dan kepalaku dipenuhi dengan rencana masa depan yang ternyata sampai detik ini beberapa belum terwujud, beberapa lainnya sepertinya memang sudah tidak bisa.

Namun, hari bahagia itu tak berlangsung lama. Dua minggu kemudian, sebuah amplop berwarna coklat tergeletak di atas meja ruang tamu. Namaku tertera pada amplop itu. Tanpa ragu, aku membukanya.

“Undangan pernikahan?” aku tersenyum begitu melihat tulisan itu. Ada salah satu temanku yang memilih untuk tidak lagi sendiri, pikirku.

Lazuardi & Sandarra

Mataku terbelalak.

Jadi ini isinya? Jantungku seolah melemah ketika membaca tulisan itu. Otakku seperti membeku, tak bisa memikirkan apapun untuk sementara waktu. Tulisan yang terukir dengan penuh keindahan tapi menyayat hatiku dengan sangat menyakitkan. Ingin tak percaya, tapi ini kenyatannya. Sakit.

Masih terekam dengan jelas di memoriku, sebuah pesan kukirimkan kemudian padanya, meminta kejelasan. Apa yang kudapatkan? Hanya jawaban singkat yang memuakkan. Namun, aku tak berhenti sampai di situ, aku kembali mengirimkan pesan padanya. Kembali meminta kejelasan.

Kamu tahu kenapa? Bertahun-tahun lamanya kita bersama tapi kamu tidak pernah memikirkan kita. Segala tentangmu selalu jadi yang paling utama. Tentangku? Sepertinya tak pernah sedikit pun terlintas di pikiranmu. Jujur, aku mulai tidak nyaman dengan apa yang kamu lakukan. Kamu selalu memikirkan dirimu dan kebahagiaanmu. Aku tahu, ini pasti sulit bagimu, tapi maaf ini adalah pilihanku. Aku tidak bisa bersama dengan orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Aku juga manusia yang ingin bahagia. Sayangnya, hal itu tidak pernah aku dapatkan ketika aku bersamamu.

Balasan yang cukup mengejutkan untukku. Air mataku mengalir deras membasahi pipi. Jadi, selama ini aku terlalu memikirkan diriku sendiri sampai seseorang yang kupikir akan selamanya menemani ternyata memilih untuk pergi. Mungkin tidak akan pernah kutemui lagi.

Dari situ, aku mulai kehilangan kendali. Kota ini, kota tempatku mengenalnya pertama kali, jadi tempat yang paling kubenci.

“Kak,” suara Vionna menyadarkanku dari ingatan masa lalu.

“Iya?”

“Ada pesan.”

“Dari?”

“Kak Di.”

Deg. Kali ini jantungku berdegup kencang. Di adalah panggilan akrab Lazuardi. Dulu, aku sering mengucap nama itu.

“Katanya, dia besok ke sini.”

“Untuk apa?”

Vionna hanya menggelengkan kepalanya.

“Kamu masih sering berhubungan sama dia?”

“Baru kali ini, Kak.” Kata Vionna, “sepertinya dia tahu Kakak ada di sini.”

Aku menarik napas panjang. Untuk apalagi dia datang kemari?

 

***

Bersambung

 

Cerbung ini akan diposting satu minggu sekali. Bisa saja hari sabtu, tapi tak menutup kemungkinan juga untuk mempostingnya di hari minggu. 


Sebelumnya 

Bagian 1 klik di sini


0 Comments