BDHK: Setelah Hari Itu #3

Rangkaian Cerita Bersambung yang diambil dari Novel 

Judul : Berawal dari Hanya Kagum 
Penulis : Devi Sofiyanti

Sebelumnya pernah dipublikasikan pada tahun 2015 dalam sebuah aplikasi buku elektronik. Dipublikasikan kembali di blog ini dengan beberapa perubahan. 

Berawal dari Hanya Kagum

 

Setelah Hari Itu
Bagian 3

Hari sudah semakin sore, langit sudah menggoreskan warna jingganya. Tapi aku masih tetap berdiri di gerbang sekolah menunggu mama menjemputku. Embusan angin sore terasa sangat menusuk ke dalam tubuh.

Duh... dingin.

Aku  memeluk tubuhku sendiri dengan kedua tangan.

Ting-ning.

Suara ponselku menandakan ada pesan masuk.

Kei, Mama lagi di luar kota ngurus butik, jadi kamu pulang pake bus saja, ya. Lagian mau nyuruh kakak-kakakmu tapi mereka juga ikut, maaf ya sayang. 

Isi pesan tersebut membuatku meresa sedih. Lagi pula sudah hampir maghrib begini, mana ada bus umum. Tapi... mau tidak mau aku harus naik bus, aku harus segera menuju halte, setidaknya masih ada bus terakhir yang masih beroperasi.

Haltenya penuh? Duh, gak asik banget sih! Gumamku dalam hati sambil membayangkan suasana pengap dalam bus nanti, terlebih bus yang datang pasti tak punya lagi tempat duduk yang tersisa, mengingat banyak karyawan kantor yang menggunakan jasa bus.

“Keisyaaa!” suara lantang itu menyadarkanku dari khayalan anehku ini.

Aku melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari sumber suara tersebut.

“Rangga?” aku terdiam membisu melihat Rangga yang tersenyum ke arahku, aku segera menghampirinya yang sedang duduk santai di atas jok sepeda motornya. Tak memerlukan waktu lama bagiku untuk sampai di depan sebuah cafe yang tak jauh dari halte, menemui Rangga.

“Sendiri aja?” tanya Rangga sambil menyalakan mesin sepeda motornya itu.

Aku tersenyum “Iya nih, abis les dulu soalnya,” 

“Yuk bareng?” Rangga memakai helmnya.

Pulang bareng Rangga? Apa kata tetangga nanti? Oh, Tuhan! Celotehku dalam hati.

“Makasih Ga, tapi kamu duluan aja, aku nunggu bus kok.” 

Rangga tertawa ringan dan menggelengkan kepala, “Bus? Tuh liat!” Rangga menunjuk ke arah halte.

Mataku terbelalak begitu melihat bus yang sedang berhenti itu dikerubungi oleh para karyawan kantor, mereka saling dorong-mendorong dan berdesakan. Pasti di dalam bus udah kayak daun berserakkan kala musim gugur, tuh! 

“Masih mau naik bus?” Rangga menatapku.

“Hmmm, ya udah, gak jadi. Tapi, bukannya kamu belum punya SIM?” 

“Terus? Yang pentingkan aku hati-hati, taat rambu lalu lintas, dan yang pasti gak kebut-kebutan. Lagian rumah kamu gak terlalu jauh, dan gak ngelewatin jalan rayayang panjang. Soalnyakan kita sama-sama anak perumahan.” Rangga tertawa ringan.

“Tapi ini gak baik, lho! Harus nunggu punya SIM dulu.” kataku sambil menaiki jok sepeda motor Rangga.

Lagi-lagi Rangga tertawa kecil, “Enggak kok, ini cuma kebetulan aja disuruh ngambil motor di bengkel, biasanya aku naik bus ‘kan?” Rangga mencoba meyakinkanku.

“Iya... iya...”

Tak mau membuang banyak waktu, Rangga segera mengemudikan sepeda motornya itu. Ini baru pertama kali aku dibonceng oleh seorang lelaki yang merupakan teman satu kelas. Namun, bersama Rangga aku merasa nyaman dan tidak merasa canggung sedikit pun, mungkin karena dia memang sangat ramah.


*** 

0 Comments