Between Words | Devi Sofiyanti

Berbicara tentang buku. 

Senang sekali ketika pada akhirnya aku bisa memegang buku ini, membacanya, dan menuliskan sedikit tentangnya di sini. Buku yang membuatku jatuh cinta, bahkan sebelum aku membaca isinya. Buku yang membuatku jatuh cinta dari pertama kali melihat cover-nya. Buku yang menyadarkanku bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada.

Sejak awal kulihat cover-nya dari balik layar ponsel, aku sudah merasa bahwa buku ini tercipta untukku. Entahlah, seyakin itu. Dan alhamdulillah, betapa senang dan merasa bersyukur ketika pada akhirnya diberi kesempatan untuk mendapatkan buku ini langsung dari penulisnya, Kak Naela Ali. Senangnya lagi, bukunya bertandangan! Terima kasih banyak kak Nae. Dan senangnya lagi, ini untuk pertama kalinya aku menang give away dan langsung mendapatkan buku yang benar-benar kuinginkan. Sekali lagi, terima kasih banyak Kak Nae.❤

Sekilas tentang buku Floating in Space
Judul : Floating in Space
Penulis : Naela Ali
Jumlah halaman : vii + 109 halaman
Tahun terbit : cetakan pertama, Juli 2018
ISBN : 978-602-424-993-9
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)


Floating in Space

Buku soft-cover berwarna gelap ini sangat indah. Dari awal melihat cover buku ini aku langsung jatuh cinta. Lihat saja betapa cantik tampilannya. Ada dua tangan yang seolah ingin saling meraih, juga bintang-bintang di sekitarnya. Sangat sesuai dengan judul buku ini. Ada daya tarik tersendiri yang sulit dijelaskan. Semoga gambar di bawah ini mampu menerjemahkan apa yang tak dapat aku sampaikan.



Di balik cantiknya cover buku ini, isinya pun tak diragukan lagi. Kisah-kisah di dalamnya sangat indah sekali. Oh ya, buku ini berbahasa Inggris, tapi jangan khawatir karena bahasanya sederhana dan mudah dipahami. Namun, meskipun bahasanya sederhana, makna dari setiap kisahnya tersampaikan dengan begitu baik kepada pembaca dan memberi kesan yang begitu ‘dalam’.  Kata-kata di dalamnya seolah bercerita lebih banyak dari apa yang tertulis pada tiap lembarnya. Aku suka sekali buku semacam ini. Menurutku, buku ini mengajak kita untuk berpikir, merenungi segala apa yang telah, sedang, dan akan terjadi. Buku ini juga membuat kita merasakan segala hal yang tertulis di dalamnya. 

Have you ever felt like
you’re floating in space?
Have you ever felt like
your body suddenly loses its weight
and your mind wanders around
to the place where infinity seems possible?
Have you ever been in love?

Di halaman awal kita akan disambut dengan tulisan 

to the souls who wander,
to the hearts that float,
my you always be filled with love.

Buku ini terdiri dari delapan cerita di mana masing-masing judulnya adalah:
1. By Starlight
2. Universe of Dream
3. Strangest Day of My Life
4. The Girl Who Visited the Past
5. The Tale of the Sky and the Ocean
6. The Smell of Old Houses
7. Moonlight Serenade
8. Floating in Space

Dari beberapa judul di atas aku paling suka dengan judul keempat dan kelima. 

Judul keempat, “The Girl Who Visited the Past” bercerita tentang seorang perempuan yang selalu mengingat masa lalunya. Seorang perempuan yang tak ingin melupakan dan melepas apa yang pernah menjadi miliknya, walaupun sudah menahun mereka terpisah. Ia jatuh cinta dan terobsesi pada semua kenangannya bersama lelaki itu. 

“Do you still love him?”
She shook her head.
“Though I think this wasn’t about love anymore. You are obsessed with your memory of him. And sooner or later it will eat you whole until there is nothing left.”
“But remembering him keeps me sane.”
“It is what you wanted your mind to think.”
“And so let it be.”
“It is unhealthy for you. You will never know what will happen once you start forgetting him. Your days will be much, much better.”

Aku paling suka bagian percakapan ini dari cerita tersebut.

Judul kelima, “The Tale of the Sky and the Ocean” berceita tentang pertemuan Mika dan Kai. Tentang Mika yang ingin menulis buku cerita anak-anak dan imajinasinya yang begitu menakjubkan. Tentang Kai yang merasa tidak mampu menikmati hidupnya. Tentang kisah kebersamaan mereka yang tak dapat dikatakan singkat. Mika the Sky dan Kai the Ocean. 

Dari cerita ini aku paling menyukai bagian ini.

The sky and the ocean will always coexist, keeping the mystery of each. Let nature finally bring them together. However, until the time comes, let them live their own lives.

Keenam cerita lainnya pun sangat menarik dan tentunya masing-masing memiliki makna yang begitu mendalam. 

Selain tulisan indah di dalamnya, buku ini juga dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi cantik dari Kak Nae. Yash, buku-buku Kak Nae memang selalu menyimpan sesuatu yang manis lewat perpaduan antara kata-kata dan indahnya gambar-gambar di dalamnya.  

Direkomendasikan? Yap, aku sangat merekomendasikan buku ini. 

Rate: 4.9/5

Kurasa, aku tidak salah telah jatuh cinta pada buku ini dari jauh-jauh hari sebelum memilikinya. Indah sekali. 

Buku ini sangat cocok dibaca kapan pun dan di mana pun karena dapat diselesaikan hanya dengan sekali duduk, tapi menurutku akan lebih menyenangkan jika dibaca malam hari.

Tak banyak informasi yang dapat kusampaikan, tapi semoga dapat sedikit mengobati bagi kalian yang penasaran.❣





Rangkaian Cerita Bersambung yang diambil dari Novel 

Judul : Berawal dari Hanya Kagum 
Penulis : Devi Sofiyanti

Sebelumnya pernah dipublikasikan pada tahun 2015 dalam sebuah aplikasi buku elektronik. Dipublikasikan kembali di blog ini dengan beberapa perubahan. 

Berawal dari Hanya Kagum

 

Setelah Hari Itu
Bagian 3

Hari sudah semakin sore, langit sudah menggoreskan warna jingganya. Tapi aku masih tetap berdiri di gerbang sekolah menunggu mama menjemputku. Embusan angin sore terasa sangat menusuk ke dalam tubuh.

Duh... dingin.

Aku  memeluk tubuhku sendiri dengan kedua tangan.

Ting-ning.

Suara ponselku menandakan ada pesan masuk.

Kei, Mama lagi di luar kota ngurus butik, jadi kamu pulang pake bus saja, ya. Lagian mau nyuruh kakak-kakakmu tapi mereka juga ikut, maaf ya sayang. 

Isi pesan tersebut membuatku meresa sedih. Lagi pula sudah hampir maghrib begini, mana ada bus umum. Tapi... mau tidak mau aku harus naik bus, aku harus segera menuju halte, setidaknya masih ada bus terakhir yang masih beroperasi.

Haltenya penuh? Duh, gak asik banget sih! Gumamku dalam hati sambil membayangkan suasana pengap dalam bus nanti, terlebih bus yang datang pasti tak punya lagi tempat duduk yang tersisa, mengingat banyak karyawan kantor yang menggunakan jasa bus.

“Keisyaaa!” suara lantang itu menyadarkanku dari khayalan anehku ini.

Aku melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari sumber suara tersebut.

“Rangga?” aku terdiam membisu melihat Rangga yang tersenyum ke arahku, aku segera menghampirinya yang sedang duduk santai di atas jok sepeda motornya. Tak memerlukan waktu lama bagiku untuk sampai di depan sebuah cafe yang tak jauh dari halte, menemui Rangga.

“Sendiri aja?” tanya Rangga sambil menyalakan mesin sepeda motornya itu.

Aku tersenyum “Iya nih, abis les dulu soalnya,” 

“Yuk bareng?” Rangga memakai helmnya.

Pulang bareng Rangga? Apa kata tetangga nanti? Oh, Tuhan! Celotehku dalam hati.

“Makasih Ga, tapi kamu duluan aja, aku nunggu bus kok.” 

Rangga tertawa ringan dan menggelengkan kepala, “Bus? Tuh liat!” Rangga menunjuk ke arah halte.

Mataku terbelalak begitu melihat bus yang sedang berhenti itu dikerubungi oleh para karyawan kantor, mereka saling dorong-mendorong dan berdesakan. Pasti di dalam bus udah kayak daun berserakkan kala musim gugur, tuh! 

“Masih mau naik bus?” Rangga menatapku.

“Hmmm, ya udah, gak jadi. Tapi, bukannya kamu belum punya SIM?” 

“Terus? Yang pentingkan aku hati-hati, taat rambu lalu lintas, dan yang pasti gak kebut-kebutan. Lagian rumah kamu gak terlalu jauh, dan gak ngelewatin jalan rayayang panjang. Soalnyakan kita sama-sama anak perumahan.” Rangga tertawa ringan.

“Tapi ini gak baik, lho! Harus nunggu punya SIM dulu.” kataku sambil menaiki jok sepeda motor Rangga.

Lagi-lagi Rangga tertawa kecil, “Enggak kok, ini cuma kebetulan aja disuruh ngambil motor di bengkel, biasanya aku naik bus ‘kan?” Rangga mencoba meyakinkanku.

“Iya... iya...”

Tak mau membuang banyak waktu, Rangga segera mengemudikan sepeda motornya itu. Ini baru pertama kali aku dibonceng oleh seorang lelaki yang merupakan teman satu kelas. Namun, bersama Rangga aku merasa nyaman dan tidak merasa canggung sedikit pun, mungkin karena dia memang sangat ramah.


*** 

Peter  Pan dan Wendy


Kisah mereka di mataku,

Sebuah kisah yang berakhir bahagia meski dihiasi dengan berjuta rasa kecewa. Peter, anak laki-laki yang tidak pernah ingin menjadi dewasa. Ia lebih suka bermain dengan imajinasinya daripada harus menjadi dewasa dan pergi bekerja. Sementara Wendy, ia tidak dapat menolak kenyataan bahwa suatu hari ia pasti akan menjadi dewasa. 

Pertemuan mereka bermula saat Wendy sedang mengisahkan sebuah dongeng tentang bajak laut pada kedua adiknya, John dan Michael. Peter datang mengintip dari balik jendela, mengamati Wendy dan kedua adiknya. Peter tak sendiri, ia bersama Tink, peri yang selalu setia di sampingnya. 

Singkat cerita, lewat perkenalan yang penuh dengan kejadian tak menyenangkan, akhirnya Peter mengajak Wendy dan adik-adiknya ke Neverland, tempat di mana Peter dan Tink tinggal. 

Neverland begitu indah, juga menyimpan banyak misteri. Banyak kebahagiaan, juga banyak ketakutan. Kesenangan yang dibalut dengan tantangan yang penuh rintangan adalah hal-hal yang anak-anak sukai tentunya. Wendy, John dan Michael begitu menikmati petualangan di tempat itu. Mereka tak pernah ciut meski banyak hal yang membuat nyali mereka mengkerut. 

Banyak sekali petualangan yang terjadi di sana. Mulai dari hampir terjerat rayuan Putri Duyung, bertarung dengan komplotan bajak laut di bawah pimpinan Captain Hook. Dan banyak lagi hal-hal menegangkan yang sangat menyenangkan. Mereka melalui itu semua seolah tanpa beban.

Di Neverland pula, Peter merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Wendy. Sayangnya, ia tak dapat mengartikan apa yang sebenarnya ia rasa. Sebab, itu baru pertama kalinya. Ia kebingungan dalam rasa bahagia dan debar dadanya. Begitu pun Wendy, ia melihat Peter dengan binar yang berbeda. Sepertinya memang ada sesuatu di antara mereka. Namun, sejak Peter mengajak Wendy dan adik-adiknya, Tink merasa terabaikan. Ia bahkan merasa sakit hati saat melihat kedekatan Peter dan Wendy.

Tapi di balik semua drama tersebut, petualangan mereka di Neverland berakhir menyenangkan. 

Hingga akhirnya Wendy mengajak kedua adiknya untuk pulang ke rumah. Neverland memang menyenangkan, tapi ia takut orangtuanya akan diselimuti rasa khawatir jika mengetahui bahwa anak-anaknya tidak ada di kamar. Lagipula, Wendy bertanggung jawab atas adik-adiknya. Wendy pun sadar bahwa ia harus tumbuh menjadi dewasa, dan Neverland bukan tempatnya. Di sana ia hanya akan menjadi anak kecil selamanya. 
Dengan berat hati, Peter membawa Wendy kembali ke rumah. Para Lost Boy dari Neverland pun memutuskan untuk mengikuti Wendy dan hidup bersamanya.
 
Sementara Peter, ia menolak untuk hidup bersama Wendy. Menjadi dewasa terlalu menyebalkan baginya. Ia hanya ingin menjadi anak-anak selamanya. Meski ia tahu, bahwa suatu hari Wendy akan menjadi dewasa dan memiliki keluarganya sendiri. Dan mungkin, ia akan melupakan Peter. Untuk hal ini Wendy tak dapat berbuat apa-apa, semua pilihan ada di tangan Peter, ia hanya perlu menghargainya. Walau hal itu membuatnya terluka.

Tapi tidak, Wendy tetaplah Wendy. 

Wendy yang selalu setia menunggu Peter-nya di balik jendela. 

Setelah bertahun-tahun lamanya, ia akhirnya menjadi manusia dewasa yang  memiliki keluarga kecil. Memiliki suami dan seorang anak. Tapi, hal itu masih tidak membuat Wendy melupakan Peter. 

Bagaimana pun Peter adalah bagian dari masa lalunya. Peter adalah bagian dari akhir masa kanak-kanaknya yang menyenangkan. Dan selamanya tak akan pernah tergantikan. 

Peter, ia tak pernah melupakan Wendy. Seringkali ia mengamati Wendy dari jauh. Ia bahagia melihat Wendy bahagia. 

Dari Peter dan Wendy aku belajar bagaimana caranya untuk menghargai pilihan orang lain (Wendy yang tidak memaksa Peter untuk hidup bersamanya), bagaimana bertahan pada prinsip (Peter yang tetap memegang prinsip bahwa ia ingin selalu menjadi anak-anak), bagaimana setia pada sesuatu (Wendy yang selalu menanti Peter kembali), berdamai dengan keadaan (Wendy dan Peter yang tidak akan pernah mungkin untuk bersatu), dan tentunya aku belajar bahwa seiring berjalannya waktu, mau atau tidak, kita akan tetap dituntut untuk menjadi dewasa dan meninggalkan semua hal-hal di masa kecil yang penuh kegembiraan dan canda tawa. 

Bahkan dari Tink, aku belajar bahwa posisi kita dapat tergantikan, tapi ketulusan tak dapat terhentikan. Tanpa Tink, kisah Peter dan Wendy di Neverland tidak akan pernah ada.

Kisah ini, bukan hanya kisah biasa. Ia menyampaikan lebih banyak dari apa yang bisa kita lihat, dengar, dan baca. 


Rangkaian Cerita Bersambung yang diambil dari Novel Berawal dari Hanya Kagum (BDHK)

Judul : Berawal dari Hanya Kagum 
Penulis : Devi Sofiyanti

Sebelumnya pernah dipublikasikan pada tahun 2015 dalam sebuah aplikasi buku elektronik. Dipublikasikan kembali di blog ini dengan beberapa perubahan. 

Berawal dari Hanya Kagum
 
 
 

Bagian 2
Cahaya yang Meredup

Mama terlihat sedang menyenderkan tubuhnya pada dinding dan menutupi sebagian wajahnya, di lorong rumah sakit yang hening ini. Dari kejauhan mama tampak biasa-biasa saja, di samping mama juga terdapat kak Rasya, kakak perempuanku ini tampak pucat meski dari kejauhan. Aku dan kak Fadly  segera menghampiri mama dan kak Rasya. Aku sangat khawatir, aku takut sesuatu yang tak pernah aku harapkan terjadi.

“Ma?” aku memegang tangan mama dan berdiri di sampingnya, aku merasakan suhu tubuh mama meningkat, “Kok badannya panas, Ma?” lagi-lagi pertanyaan terlontar dari bibirku ini.

Mama perlahan membuka tangan yang menutupi wajahnya. Terlihat mama dengan mata sembab dan wajah yang pucat “Kei...” Mama meneteskan kembali air matanya, yang memang sedari tadi sudah mengalir di wajahnya.

“Mama kenapa? Alisya sama nenek mana?” 

Mama tak menjawab pertanyaanku walaupun hanya satu kata, ia hanya menarik tanganku dan Kak Fadly ke dalam kamar tempat papa di rawat. 

“Papa...” aku tak kuat menahan air mataku, aku rindu Papa. Aku kemudian mendekat ke arahnya.

Tubuh Papa terlihat sangat pucat dan lemas, kelopak matanya terlihat sangat berat untuk dibuka. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi menyaksikan Papa sekarang ini.

Nuttt....

Suara alat pendeteksi kerja jantung papa mulai menunjukan garis lurusnya, mata papa kini tertutup rapat, derai tangis mulai terdengar, membuat riuh ruangan ini. 

Papaaa... 

Aku hanya bisa berteriak dalam hati, hanya air mata yang mampu berbicara. Seperti sungai, air mata ini terlalu deras, aku tak bisa menahannya. Perlahan aku mulai menyadari sosok papa kini telah pergi. Belum sempat aku melepas rindu yang begitu mencengkram ini. Tapi, kini sosok tegas itu telah terbaring kaku tanpa daya. Bahkan aku tak percaya bahwa ini nyata. 

Jangan pergi Papaaa... 

Seolah-olah ini hanya sebuah mimpi buruk, aku tak ingin ini terjadi. Kini papa telah meninggalkan aku, dan kami semua. Aku tak sanggup untuk menyembunyikan perasaan sedihku ini. Bagaimana aku bisa tegar, sosok tegas ini telah membimbingku, mengajariku, menyayangiku, menjagaku, memberiku semangat, berjuang untuk kehidupanku, tak pernah lelah dengan semua yang ia lakukan untukku. Tapi, belum sempat aku membalas semuanya, kini ia telah pergi.



*** 



Acara pemakaman papa sudah selesai, tetapi mama tetap tak mau pergi dari tempat peristirahatan terakhir papa. Matanya terus dibanjiri air mata, mulutnya seperti tak mampu berbicara pada dunia bahwa ia amat merasa kehilangan, hingga sang mata pun terpaksa terus berbicara.

“Mam, ayo pulang.” Ajak kak Rasya sambil terus merangkul mama. Kak Rasya tak tega melihat mama seperti ini. Mama yang tegar kini terlihat begitu lemah. 

“Iya Mam, ayo kita pulang. Papa udah bahagia di alam sana.” tambah kak Fadly.

Aku hanya mampu menangis, mengingat sosok papa yang sering menuruti inginku ini harus terbaring sendiri di bawah tanah ini, bersama sepi yang sangat nyata.

“Mam, kalo mau nurutin keinginan hati, Rasya juga gak akan pergi dari sini. Karena Rasya gak mau kehilangan papa, tapi Rasya harus tegar. Ingat Mam, kata ustadz Ahmad, bahwa kita harus mengikhlaskan kepergian siapapun, karena suatu saat, kitalah yang akan  pergi.” kak Rasya mencoba menguatkan mama.

“Karena yang ada pasti tiada pada akhirnya.” tambah kak Fadly

Mama seperti tak menghiraukannya, Mama terus menangis dan tak mau pergi dari tempat ini, tapi kak Fadly dan kak Rasya terus membujuk sampai mama mau meninggalkan tempat ini. Karena kami tak mau melihat Mama terus sedih dan menangis.

“Jangan nangis Mam, ada Alisya.” celoteh Alisya.

Mama mengusap air matanya dan menoleh ke arah Alisya “Lis... sini sayang. Peluk Mama.” 

Mama terlihat sangat sedih. Aku tahu mama sangat mencintai papa, aku tak tega melihat mama merasakan sedih yang begitu dahsyatnya. Mungkin ia merasa seperti kehilangan separuh jiwanya karena cinta mama kini telah kembali pada sang penciptanya. Mama kehilangan seseorang yang selalu mendampinginya melewati berbagai masa sulit.

Alisya menghampiri mama dan memeluknya. “Mama jangan nangis ya, papa kasian kalo di tangisin terus, papa gak pergi kemana-mana kok. Papa kan tinggal di sini sekarang.” Celotehnya.

Mama hanya tersenyum membisu mendengar ucapan malaikat kecilnya itu.

“Mama dengarkan, Alisya aja ikhlas Mam.” Ucap kak Fadly.

Mama melirik ke arah kak Fadly, kemudian ia memegang batu nisan tempat papa berbaring di bawahnya dengan erat, matanya terpejam, mungkin ada yang mama sampaikan pada papa.

“Yuk, Mam!” Aku mengelurkan tanganku pada Mama.

Mama berdiri dan matanya tetap tertuju pada batu nisan papa. Aku dan kakak-kakakku beserta adikku melangkah, mama mengikuti langkah kami. Kini kita kembali ke rumah, walaupun sekarang kita sudah tak seperti dulu. 

Papa kini telah pergi, selamat bertemu lagi, Papa...

Cahaya yang dulu sangat terang, kini meredup. Kini mendung menghiasi langit yang dulu sangat biru. Miliyaran bulir-bulir air hujan turun membasahi bumi. Semua itu menggambarkan perasaan kami sekarang.

Bagaikan tersambar petir di tengah teriknya sinar mentari, papa kini telah pergi. Tak ada lagi sosok yang akan menjadi kepala keluarga di rumah kami.  Tapi di balik kelamnya hari ini, Allah pasti akan memberi kecerian dan kebahagiaan seutuhnya di hari esok.

Rangkaian Cerita Bersambung yang diambil dari Novel Berawal dari Hanya Kagum (BDHK)

Judul : Berawal dari Hanya Kagum 
Penulis : Devi Sofiyanti

Sebelumnya pernah dipublikasikan dalam sebuah aplikasi buku elektronik pada tahun 2015. Dipublikasikan kembali di blog ini dengan beberapa perubahan.

Berawal dari Hanya Kagum


 

Bagian 1
Cahaya yang Meredup

Kabut masih tebal memburamkan mata, pagi ini langit mendung seperti tak ada cahaya, padahal jam sudah menunjukkan pukul 06.15 WIB. Suasana rumah masih sepi.

Mama masih menunggu papa di rumah sakit bersama kakak perempuanku, Rasya. Sementara aku di rumah bersama Kak Fadly, kakak sulungku, dan Alisya, adikku. Memang, sejak 2 minggu lalu rumah selalu sepi, setiap anggota keluarga selalu bergantian menjaga papa di rumah sakit. Penyakit jantung papa yang kambuh lagi membuat papa diharuskan untuk menjalani perawatan di rumah sakit. 

“Keisya!” teriak kak Fadly dari arah ruang makan.

Aku yang sedang membereskan buku pelajaran hari ini pun terpaksa menghampirinya, aku takut ada hal penting yang ingin kak Fadly sampaikan padaku, sebab tak biasanya ia berteriak seperti ini. 

Kak Fadly terlihat sudah sangat rapi mengenakan kemaja biru mudanya. Ia terlihat seperti ingin berpergian.

“Iya, Kak?”

“Hari ini Kakak bikinin surat izin ke sekolah, tadi kakak udah titipin ke Noella. Kakak juga udah telpon Bu Resna kok.” Ucap kakakku.

Lho kok aku dibikinin surat izin segala? Mau apa sih kak Fadly? Sampai menelpon wali kelasku juga?  Batinku. 

“Mau apa, Kak?” mataku seakan penuh tanya. Lagi pula aku tak biasa membolos sekolah. Biasanya jika ada acara keluarga pun aku lebih memilih tak ikut acara tersebut daripada harus absen sekolah.

“Sekarang kamu ikut Kakak! Kakak ambil kunci mobil dulu.” Kak Fadly berlalu.

Ia kembali menghentikan langkah kakinya, kemudian membalikan lagi badannya, “Oh iya, Alisya udah berangkat sama Nenek tadi. Kakak juga udah kirim surat ke sekolah Alisya.” Kakakku kembali membalikkan badannya dan berlalu begitu saja, padahal aku belum sempat menjawab apapun.

Aku hanya menggelengkan kepalaku dan duduk di kursi meja makan.

Tak lama kakakku kembali menghampiri. 

“Yuk!” ajak kak Fadly. 

“Kemana sih, Kak?”

Kak Fadly tak menghiraukan pertanyaanku, ia terus berjalan ke arah garasi. 

“Cepat naik!” perintah kak Fadly yang sudah lebih dulu masuk ke mobil.

Aku terus memandang wajah kakakku ini, “Mau kemana, Kak? Sampai Keisya harus izin sekolah segala?” 

“Bisa diem gak?” Kak Fadly yang sedang konsentasi menyetir tiba-tiba membentakku, tak biasanya dia begini.

Bulir-bulir bening sudah terkumpul di sudut mataku, aku seperti sudah tak sanggup lagi untuk menahannya. Rasa penasaranku tak berarti apa-apa untuknya.

“Kak?” aku berbicara dengan nada lirih.

“Kei?” Kak Fadly terlihat terkejut melihat wajahku yang sudah dipenuhi air mata, “Jangan nangis, kenapa? Udah jangan cengeng.” Kak Fadly menghapus air mata di pipiku.

Aku hanya bisa terdiam sambil terus memandang wajahnya, keheningan terjadi begitu saja. Tak ada satu pun suara di dalam mobil ini, hanya terdengar deru mesin mobil kami dan suara kendaraan-kendaraan lain di jalanan.

***



Untuk Dunia yang Megah,



Banyak yang terjadi namun tak sejalan dengan hati. 

Terlalu banyak yang tak bisa dijelaskan secara pasti. Hal-hal bertentangan yang tak mampu kuambil kendali. 

Serupa merasa dicintai, lalu perlahan merasa tak pernah menjadi sesuatu yang berarti sama sekali. Merasa disayangi, juga sekaligus merasa tak pernah dimengerti. Dipahami tapi seperti tak ada yang mau diajak berbagi. Semua tak pernah berjalan sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. 
Merasa sendiri di antara lalu-lalang manusia yang tak pernah sedetik pun berhenti. Tak kuasa berdiri seperti awal lagi. 

Dunia sepertinya benar-benar enggan diajak untuk sekedar berkompromi agar segala luka kembali sembuh lagi. Dunia tak pernah sudi mendengar betapa kita merasa sepi dan sendiri di antara ramainya hari-hari. Dunia tak peduli, bahkan ketika kita berpikir tak kuasa untuk sekedar menenangkan hati. 

Hidup tanpa pernah tahu apa arti diri. 

Hilang tercecer segala harapan dan mimpi. 

Perihal identitas diri pun tak mampu dikenali.

Di sini, amarah pun ciut. Ia tak mau membuang energi demi yang tak pernah benar-benar pasti. Kesedihan pun dilanda bosan mengahadapi diri, sebab terlalu sering ia menemani. Bahagia? Ia terlalu sering dirasa sampai terasa biasa saja. Lalu, apa? Apa yang kurasa, kaurasa, kita rasa? 

Kupikir hampa. 

Tak yakin apa yang sebenarnya melanda pada hidup yang semakin hari warnanya semakin sulit dijabarkan oleh kata-kata. 

Diri sendiri bagai teka-teki. 

Yang jawabannya tersembunyi di tempat yang tak pernah kau kunjungi.

Dunia terlalu megah untuk aku, untuk kamu, untuk kita yang belum tahu kemana harus melangkah. Kita yang sama-sama tak tahu arah. Kita yang dipaksa terus berjalan dengan pasrah. 

Masih banyak kurang diri yang tidak tahu kapan akan ada yang sanggup melengkapi, atau mungkin akan selalu kosong sampai nanti. 

Lagi, lagi, dan lagi. 

Katanya, “Kamu yang bertanggungjawab sepenuhnya atas segala yang melekat pada dirimu.” 

Tak menyangkal. Memang benar. 

Hanya saja, beri sedikit ruang untuk sekedar menentukan akan kemana lanjutnya tualang. 

Beri ruang bagi kita untuk sejenak memeluk diri sendiri.
Biar kita belajar untuk berdamai dengan segala yang telah, sedang, dan akan terjadi.

Salahku, tak pernah mau berdamai dengan segala yang sudah lewat. 



Terlalu lama kusadari, ternyata semua sudah tak sama lagi. 

Ada pertanyaan yang kini sudah mendapatkan jawaban. Tapi, banyak di antaranya tak sesuai dengan harapan.

Dan sekarang...

Aku kira, aku sedang dilanda bingung. 

Banyak cerita yang tak mungkin lagi aku baca, banyak buku yang tak akan sanggup lagi aku buka, banyak kata yang terbuang sia-sia. Semua hanya karena terlambat menerima. 

Segalanya tak bisa lagi dilanjutkan. Bukan tanpa alasan, karena akan terasa sangat menyakitkan ketika kembali berbicara tentang hal yang dulu begitu kita cinta, namun sekarang tak lebih dari kata. Tak mau tersiksa dengan segala yang harusnya sudah tidak lagi dirasa. 

Mungkin dulu sesuatu itu begitu kucinta, begitu membuatku merasa bangga, tapi kini semua itu tak lebih dari rangkaian kata tentang luka. Tentang pelangi yang kehilangan warnanya. Tentang apa yang seharusnya tidak pernah tercipta. 

Membuatku senang, kemudian menjadi bumerang. 

Aku bukan tak bisa berdamai dengan keadaan, hanya saja itu akan terasa sangat menyakitkan. Bukan kalian yang rasa, tapi akulah yang harus menerima sakitnya. Dan aku tak kuasa. 

Aku baru saja terjatuh dari tangga yang kukira akan mengantarkanku pada ‘kita’. Tangga itu ternyata sudah bukan milikku. Aku tak tahu kapan persisnya tangga itu beralih pada pemiliknya yang baru. Aku pun hanya bisa terdiam saat menyadari bahwa ternyata pemiliknya bukan lagi aku. 


Tapi, tidak ada yang pernah merebutnya dariku. Pemiliknya yang baru bahkan tidak tahu bahwa itu pernah jadi milikku. Ia tidak bersalah di sini, sebab dia pun tak pernah tahu aku pernah menempati tempat tinggalnya itu. Justru, di tangannya tangga itu jadi lebih baik dari sebelumnya, tangga itu kini memiliki warna. Hal yang tak pernah kulakukan dahulu.

Melihatnya begitu merawat tangga itu dengan tulusnya, aku perlahan mencoba turun. Bukan lagi hakku. Tapi ternyata aku sudah berada di anak tangga paling tinggi, jarakku untuk kembali ke bawah sudah sangat jauh dan aku memiliki ketakutan akan ketinggian. Tanpa sadar, ketakutanku untuk turun perlahan malah berujung petaka. Aku tergelincir dan terjatuh, sebab tak matang dalam menyusun rencana. 

Aku masih sakit karena tangga yang bukan lagi milikku itu, sementara kini orang-orang bertanya padaku tentang rumah lama itu. Tentang rencana mengenai renovasi rumah lama itu. 

Bagaimana mengatakannya. Aku bingung.
Rumah itu bukan lagi milikku, walau aku yang pertama kali membangunnya di atas lahan kosong. 

Bukan tak ingin mengakui aku tak mampu mempertahankannya, tapi rasanya akan terlalu sakit jika mengatakan bahwa rumah itu telah dihuni orang lain. 

Banyak hal yang tak kuasa aku jabarkan dengan kata-kata.

Aku tak ingin kembali mengingatnya lagi, tapi tak menjawab pertanyaan mereka malah membuatku seperti pribadi yang tak paham arti menghargai. 

Aku bingung. 

Nanti, saat sudah tak terasa sakit lagi, pasti dengan mantap aku akan mengatakan bahwa rumah itu bukan milikku lagi. Untuk sekarang, aku tak sanggup hanya untuk mengingatnya, sebab banyak kata-kata yang kurangkai terlahir dari lamunan panjangku setiap malam di salah satu ruangan di dalamnya, dan kini kata-kata itu telah kehilangan makna.

Aku butuh waktu untuk memeluk kembali apa yang telah berlalu.

Biarkan aku belajar menerima. 



Kita di mata kita, kita di mata mereka. 

Sebuah Peran. 
Apa yang tertangkap retina, tidak selamanya nyata.



Semua bermain dengan perannya di hamparan panggung semesta yang maha luas. Membuka-tutup topeng jadi hal biasa. Tangis dan tawa terkadang nyaris tak ada yang bisa membedakannya, apakah nyata atau bagian dari sandiwara. 

Si sedih dipaksa riang. Tersenyum, tertawa menghibur semua. Menebar banyak bahagia diantara relung dukanya. Ia harus selalu tampil sempurna, meyakinkan dunia bahwa semua selalu berjalan baik-baik saja. Hatinya harus kuat menahan air mata yang bisa kapan saja terjatuh dari bening matanya. Ia tak ingin mengecewakan penonton, apabila perannya bercela. Menjadi penyembuh saat dirinya sendiri merasa lumpuh demi keutuhan sebuah jalan cerita.

Si riang harus berperan seperti bunga layu. Rona wajahnya yang ceria, ia lumuri dengan luka. Harus pandai-pandai mengontrol diri agar mereka semua percaya bahwa sedihnya berasal dari hati, bukan hanya bagian dari imaji yang ia ciptakan sendiri. Tawa yang sebelumnya tampak biasa, di panggung ini hal itu jadi larangan utama. Semua ia lakukan agar perannya terlihat sempurna.

Para pembohong yang saling bahu membahu membentuk dunia yang begitu rumitnya. 

Kita adalah si sedih dan si riang itu. 

Kita menerka-nerka apa yang menjadi makna dari segala tingkah laku mereka dan mereka pun melakukan hal serupa. Kita sama. Saling berpura-pura dan menerka. Saling terlihat riang, bahkan disaat jauh dari kata tenang. Saling terlihat layu, pedahal memiliki banyak ambisi yang menggebu. Kita adalah rangkaian pemeran yang sedang berusaha membangun kisah bersama. 

Jika di panggung drama kita tahu orang lain sedang bersandiwara, di sini kita bahkan tidak mengetahui apakah diri kita sendiri sedang memainkan tipuan lewat perannya atau jujur apa adanya. Di panggung semesta yang maha luas, kita bahkan bingung dengan peran kita sendiri. Merasa memiliki peran sebagai protagonis, ternyata antagonis. Begitu pun sebaliknya. Kita tak pernah benar-benar sadar apa peran kita yang sesungguhnya. Sebab, terlalu rumit. Tak selamanya kita menjadi si baik hati, tak selamanya kita menjadi penjahat yang selalu ingin menang sendiri. 

Lalu, jika kita sendiri tak dapat benar-benar sadar peran ini, bagaimana kita di mata mereka? 

Tentu saja, setiap orang akan menilai berbeda. Ada yang baginya kita adalah seorang pemilik hati murni, yang selalu setia menemaninya melewati sulitnya hari demi hari. Ada pula yang menganggap bahwa kita adalah duri, penghalang segala langkahnya dan menjadi sumber penyebab luka baginya.

Namun, semua orang bisa merubah penilaiannya, sebab waktu selalu membuat kita menjadi manusia yang baru. 

Peran kita selalu berganti. Semua di bawah kendali diri sendiri. Selain itu, peran kita tak dapat diganti. Di sini, tanggungjawab atas segalanya hanya bertumpu pada diri.

Kita adalah pemeran utama dalam kisah kita. Bagaimana mereka menilai kita adalah tergantung dari apa yang kita perlihatkan kepadanya, meski beberapa terkadang dengan seenak hati menilai sesukanya.
 
Di mata kita, kita adalah segalanya. Pusat segala pandangan tentang pencarian makna. Kita pemeran utama sekaligus pelengkap cerita yang sedikit banyak perannya ikut mengambil lakon di kehidupan lain. Entah cerah atau gelap warna yang kita pancarkan di sana. Di setiap kisah berbeda, kita memakai topeng dengan warna yang tak sama. Baik topeng dengan warna yang kita pilih sendiri, maupun topeng dengan warna yang telah mereka siapkan.

Terlepas dari semua itu, segala baik buruknya. Pada akhirnya kita hanya sebagai pelengkap cerita bagi mereka. 

Kita di mata kita merupakan wujud dari ketulusan dan syukur akan hidup. Kita di mata mereka merupakan wujud dari yang kita tampilkan atau apa yang mereka pikirkan. 

Kita di mata kita, kita di mata mereka. 

Peran-peran yang saling mencoba untuk menjadi sempurna di panggung semesta, meski sadar bahwa manusia selalu punya cela.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TEMUKAN SAYA

TERPOPULER

  • Tentang Kami
  • Untuk yang Tetap Memilih Sendiri
  • About Best Friend
  • Kita semua tidak baik-baik saja
  • 2521 dan Kesan Setelahnya
  • Cara Membedakan Buku Asli dan Bajakan
  • Belanja Buku Online di Shopee Mizan Jakarta (mbcjakarta), Untung Besar!
  • BerbicaraTentangBuku: Novel The Magic Library (Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken) karya Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup
  • Kumpulan Quotes dari Buku Karya Dee Lestari
  • Ketika Kamu Beranjak Dewasa

KATEGORI

  • #30DaysWritingChallange 10
  • Cerita 24
  • Cerita Bersambung 2
  • DAY 1 : Describe your personality 1
  • Lazuardi 2
  • Puisi 5
  • Serba-serbi Perbukuan 15
  • Tentang Film 5
  • Tentang Kehidupan 41
  • Ulasan Buku 17
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
deefesef
Hi, Devi di sini! Menuliskan apa yang tidak akan pernah dia baca, juga menulis tentang berbagai rasa dan tanya, serta banyak hal lainnya. Temui saya di : @deefesef (Instagram)
Lihat profil lengkapku

ARSIP

  • ►  2023 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ▼  2020 (85)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (27)
    • ►  Agustus (16)
    • ►  Juli (7)
    • ▼  Juni (8)
      • BerbicaraTentangBuku: Floating in Space karya Nael...
      • BDHK: Setelah Hari Itu #3
      • Tentang Peter dan Wendy
      • BDHK: Cahaya yang Meredup #2
      • BDHK: Cahaya yang Meredup #1
      • Dunia
      • Menerima
      • Peran
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
  • ►  2019 (13)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Januari (1)
  • Beranda
  • Rangkaian Kata
  • Ulasan Buku

© - Devi Sofiyanti | Designed by OddThemes