Peran

Kita di mata kita, kita di mata mereka. 

Sebuah Peran. 
Apa yang tertangkap retina, tidak selamanya nyata.



Semua bermain dengan perannya di hamparan panggung semesta yang maha luas. Membuka-tutup topeng jadi hal biasa. Tangis dan tawa terkadang nyaris tak ada yang bisa membedakannya, apakah nyata atau bagian dari sandiwara. 

Si sedih dipaksa riang. Tersenyum, tertawa menghibur semua. Menebar banyak bahagia diantara relung dukanya. Ia harus selalu tampil sempurna, meyakinkan dunia bahwa semua selalu berjalan baik-baik saja. Hatinya harus kuat menahan air mata yang bisa kapan saja terjatuh dari bening matanya. Ia tak ingin mengecewakan penonton, apabila perannya bercela. Menjadi penyembuh saat dirinya sendiri merasa lumpuh demi keutuhan sebuah jalan cerita.

Si riang harus berperan seperti bunga layu. Rona wajahnya yang ceria, ia lumuri dengan luka. Harus pandai-pandai mengontrol diri agar mereka semua percaya bahwa sedihnya berasal dari hati, bukan hanya bagian dari imaji yang ia ciptakan sendiri. Tawa yang sebelumnya tampak biasa, di panggung ini hal itu jadi larangan utama. Semua ia lakukan agar perannya terlihat sempurna.

Para pembohong yang saling bahu membahu membentuk dunia yang begitu rumitnya. 

Kita adalah si sedih dan si riang itu. 

Kita menerka-nerka apa yang menjadi makna dari segala tingkah laku mereka dan mereka pun melakukan hal serupa. Kita sama. Saling berpura-pura dan menerka. Saling terlihat riang, bahkan disaat jauh dari kata tenang. Saling terlihat layu, pedahal memiliki banyak ambisi yang menggebu. Kita adalah rangkaian pemeran yang sedang berusaha membangun kisah bersama. 

Jika di panggung drama kita tahu orang lain sedang bersandiwara, di sini kita bahkan tidak mengetahui apakah diri kita sendiri sedang memainkan tipuan lewat perannya atau jujur apa adanya. Di panggung semesta yang maha luas, kita bahkan bingung dengan peran kita sendiri. Merasa memiliki peran sebagai protagonis, ternyata antagonis. Begitu pun sebaliknya. Kita tak pernah benar-benar sadar apa peran kita yang sesungguhnya. Sebab, terlalu rumit. Tak selamanya kita menjadi si baik hati, tak selamanya kita menjadi penjahat yang selalu ingin menang sendiri. 

Lalu, jika kita sendiri tak dapat benar-benar sadar peran ini, bagaimana kita di mata mereka? 

Tentu saja, setiap orang akan menilai berbeda. Ada yang baginya kita adalah seorang pemilik hati murni, yang selalu setia menemaninya melewati sulitnya hari demi hari. Ada pula yang menganggap bahwa kita adalah duri, penghalang segala langkahnya dan menjadi sumber penyebab luka baginya.

Namun, semua orang bisa merubah penilaiannya, sebab waktu selalu membuat kita menjadi manusia yang baru. 

Peran kita selalu berganti. Semua di bawah kendali diri sendiri. Selain itu, peran kita tak dapat diganti. Di sini, tanggungjawab atas segalanya hanya bertumpu pada diri.

Kita adalah pemeran utama dalam kisah kita. Bagaimana mereka menilai kita adalah tergantung dari apa yang kita perlihatkan kepadanya, meski beberapa terkadang dengan seenak hati menilai sesukanya.
 
Di mata kita, kita adalah segalanya. Pusat segala pandangan tentang pencarian makna. Kita pemeran utama sekaligus pelengkap cerita yang sedikit banyak perannya ikut mengambil lakon di kehidupan lain. Entah cerah atau gelap warna yang kita pancarkan di sana. Di setiap kisah berbeda, kita memakai topeng dengan warna yang tak sama. Baik topeng dengan warna yang kita pilih sendiri, maupun topeng dengan warna yang telah mereka siapkan.

Terlepas dari semua itu, segala baik buruknya. Pada akhirnya kita hanya sebagai pelengkap cerita bagi mereka. 

Kita di mata kita merupakan wujud dari ketulusan dan syukur akan hidup. Kita di mata mereka merupakan wujud dari yang kita tampilkan atau apa yang mereka pikirkan. 

Kita di mata kita, kita di mata mereka. 

Peran-peran yang saling mencoba untuk menjadi sempurna di panggung semesta, meski sadar bahwa manusia selalu punya cela.

0 Comments