BDHK: Cahaya yang Meredup #2

Rangkaian Cerita Bersambung yang diambil dari Novel Berawal dari Hanya Kagum (BDHK)

Judul : Berawal dari Hanya Kagum 
Penulis : Devi Sofiyanti

Sebelumnya pernah dipublikasikan pada tahun 2015 dalam sebuah aplikasi buku elektronik. Dipublikasikan kembali di blog ini dengan beberapa perubahan. 

Berawal dari Hanya Kagum
 
 
 

Bagian 2
Cahaya yang Meredup

Mama terlihat sedang menyenderkan tubuhnya pada dinding dan menutupi sebagian wajahnya, di lorong rumah sakit yang hening ini. Dari kejauhan mama tampak biasa-biasa saja, di samping mama juga terdapat kak Rasya, kakak perempuanku ini tampak pucat meski dari kejauhan. Aku dan kak Fadly  segera menghampiri mama dan kak Rasya. Aku sangat khawatir, aku takut sesuatu yang tak pernah aku harapkan terjadi.

“Ma?” aku memegang tangan mama dan berdiri di sampingnya, aku merasakan suhu tubuh mama meningkat, “Kok badannya panas, Ma?” lagi-lagi pertanyaan terlontar dari bibirku ini.

Mama perlahan membuka tangan yang menutupi wajahnya. Terlihat mama dengan mata sembab dan wajah yang pucat “Kei...” Mama meneteskan kembali air matanya, yang memang sedari tadi sudah mengalir di wajahnya.

“Mama kenapa? Alisya sama nenek mana?” 

Mama tak menjawab pertanyaanku walaupun hanya satu kata, ia hanya menarik tanganku dan Kak Fadly ke dalam kamar tempat papa di rawat. 

“Papa...” aku tak kuat menahan air mataku, aku rindu Papa. Aku kemudian mendekat ke arahnya.

Tubuh Papa terlihat sangat pucat dan lemas, kelopak matanya terlihat sangat berat untuk dibuka. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi menyaksikan Papa sekarang ini.

Nuttt....

Suara alat pendeteksi kerja jantung papa mulai menunjukan garis lurusnya, mata papa kini tertutup rapat, derai tangis mulai terdengar, membuat riuh ruangan ini. 

Papaaa... 

Aku hanya bisa berteriak dalam hati, hanya air mata yang mampu berbicara. Seperti sungai, air mata ini terlalu deras, aku tak bisa menahannya. Perlahan aku mulai menyadari sosok papa kini telah pergi. Belum sempat aku melepas rindu yang begitu mencengkram ini. Tapi, kini sosok tegas itu telah terbaring kaku tanpa daya. Bahkan aku tak percaya bahwa ini nyata. 

Jangan pergi Papaaa... 

Seolah-olah ini hanya sebuah mimpi buruk, aku tak ingin ini terjadi. Kini papa telah meninggalkan aku, dan kami semua. Aku tak sanggup untuk menyembunyikan perasaan sedihku ini. Bagaimana aku bisa tegar, sosok tegas ini telah membimbingku, mengajariku, menyayangiku, menjagaku, memberiku semangat, berjuang untuk kehidupanku, tak pernah lelah dengan semua yang ia lakukan untukku. Tapi, belum sempat aku membalas semuanya, kini ia telah pergi.



*** 



Acara pemakaman papa sudah selesai, tetapi mama tetap tak mau pergi dari tempat peristirahatan terakhir papa. Matanya terus dibanjiri air mata, mulutnya seperti tak mampu berbicara pada dunia bahwa ia amat merasa kehilangan, hingga sang mata pun terpaksa terus berbicara.

“Mam, ayo pulang.” Ajak kak Rasya sambil terus merangkul mama. Kak Rasya tak tega melihat mama seperti ini. Mama yang tegar kini terlihat begitu lemah. 

“Iya Mam, ayo kita pulang. Papa udah bahagia di alam sana.” tambah kak Fadly.

Aku hanya mampu menangis, mengingat sosok papa yang sering menuruti inginku ini harus terbaring sendiri di bawah tanah ini, bersama sepi yang sangat nyata.

“Mam, kalo mau nurutin keinginan hati, Rasya juga gak akan pergi dari sini. Karena Rasya gak mau kehilangan papa, tapi Rasya harus tegar. Ingat Mam, kata ustadz Ahmad, bahwa kita harus mengikhlaskan kepergian siapapun, karena suatu saat, kitalah yang akan  pergi.” kak Rasya mencoba menguatkan mama.

“Karena yang ada pasti tiada pada akhirnya.” tambah kak Fadly

Mama seperti tak menghiraukannya, Mama terus menangis dan tak mau pergi dari tempat ini, tapi kak Fadly dan kak Rasya terus membujuk sampai mama mau meninggalkan tempat ini. Karena kami tak mau melihat Mama terus sedih dan menangis.

“Jangan nangis Mam, ada Alisya.” celoteh Alisya.

Mama mengusap air matanya dan menoleh ke arah Alisya “Lis... sini sayang. Peluk Mama.” 

Mama terlihat sangat sedih. Aku tahu mama sangat mencintai papa, aku tak tega melihat mama merasakan sedih yang begitu dahsyatnya. Mungkin ia merasa seperti kehilangan separuh jiwanya karena cinta mama kini telah kembali pada sang penciptanya. Mama kehilangan seseorang yang selalu mendampinginya melewati berbagai masa sulit.

Alisya menghampiri mama dan memeluknya. “Mama jangan nangis ya, papa kasian kalo di tangisin terus, papa gak pergi kemana-mana kok. Papa kan tinggal di sini sekarang.” Celotehnya.

Mama hanya tersenyum membisu mendengar ucapan malaikat kecilnya itu.

“Mama dengarkan, Alisya aja ikhlas Mam.” Ucap kak Fadly.

Mama melirik ke arah kak Fadly, kemudian ia memegang batu nisan tempat papa berbaring di bawahnya dengan erat, matanya terpejam, mungkin ada yang mama sampaikan pada papa.

“Yuk, Mam!” Aku mengelurkan tanganku pada Mama.

Mama berdiri dan matanya tetap tertuju pada batu nisan papa. Aku dan kakak-kakakku beserta adikku melangkah, mama mengikuti langkah kami. Kini kita kembali ke rumah, walaupun sekarang kita sudah tak seperti dulu. 

Papa kini telah pergi, selamat bertemu lagi, Papa...

Cahaya yang dulu sangat terang, kini meredup. Kini mendung menghiasi langit yang dulu sangat biru. Miliyaran bulir-bulir air hujan turun membasahi bumi. Semua itu menggambarkan perasaan kami sekarang.

Bagaikan tersambar petir di tengah teriknya sinar mentari, papa kini telah pergi. Tak ada lagi sosok yang akan menjadi kepala keluarga di rumah kami.  Tapi di balik kelamnya hari ini, Allah pasti akan memberi kecerian dan kebahagiaan seutuhnya di hari esok.

0 Comments