Menerima

Salahku, tak pernah mau berdamai dengan segala yang sudah lewat. 



Terlalu lama kusadari, ternyata semua sudah tak sama lagi. 

Ada pertanyaan yang kini sudah mendapatkan jawaban. Tapi, banyak di antaranya tak sesuai dengan harapan.

Dan sekarang...

Aku kira, aku sedang dilanda bingung. 

Banyak cerita yang tak mungkin lagi aku baca, banyak buku yang tak akan sanggup lagi aku buka, banyak kata yang terbuang sia-sia. Semua hanya karena terlambat menerima. 

Segalanya tak bisa lagi dilanjutkan. Bukan tanpa alasan, karena akan terasa sangat menyakitkan ketika kembali berbicara tentang hal yang dulu begitu kita cinta, namun sekarang tak lebih dari kata. Tak mau tersiksa dengan segala yang harusnya sudah tidak lagi dirasa. 

Mungkin dulu sesuatu itu begitu kucinta, begitu membuatku merasa bangga, tapi kini semua itu tak lebih dari rangkaian kata tentang luka. Tentang pelangi yang kehilangan warnanya. Tentang apa yang seharusnya tidak pernah tercipta. 

Membuatku senang, kemudian menjadi bumerang. 

Aku bukan tak bisa berdamai dengan keadaan, hanya saja itu akan terasa sangat menyakitkan. Bukan kalian yang rasa, tapi akulah yang harus menerima sakitnya. Dan aku tak kuasa. 

Aku baru saja terjatuh dari tangga yang kukira akan mengantarkanku pada ‘kita’. Tangga itu ternyata sudah bukan milikku. Aku tak tahu kapan persisnya tangga itu beralih pada pemiliknya yang baru. Aku pun hanya bisa terdiam saat menyadari bahwa ternyata pemiliknya bukan lagi aku. 


Tapi, tidak ada yang pernah merebutnya dariku. Pemiliknya yang baru bahkan tidak tahu bahwa itu pernah jadi milikku. Ia tidak bersalah di sini, sebab dia pun tak pernah tahu aku pernah menempati tempat tinggalnya itu. Justru, di tangannya tangga itu jadi lebih baik dari sebelumnya, tangga itu kini memiliki warna. Hal yang tak pernah kulakukan dahulu.

Melihatnya begitu merawat tangga itu dengan tulusnya, aku perlahan mencoba turun. Bukan lagi hakku. Tapi ternyata aku sudah berada di anak tangga paling tinggi, jarakku untuk kembali ke bawah sudah sangat jauh dan aku memiliki ketakutan akan ketinggian. Tanpa sadar, ketakutanku untuk turun perlahan malah berujung petaka. Aku tergelincir dan terjatuh, sebab tak matang dalam menyusun rencana. 

Aku masih sakit karena tangga yang bukan lagi milikku itu, sementara kini orang-orang bertanya padaku tentang rumah lama itu. Tentang rencana mengenai renovasi rumah lama itu. 

Bagaimana mengatakannya. Aku bingung.
Rumah itu bukan lagi milikku, walau aku yang pertama kali membangunnya di atas lahan kosong. 

Bukan tak ingin mengakui aku tak mampu mempertahankannya, tapi rasanya akan terlalu sakit jika mengatakan bahwa rumah itu telah dihuni orang lain. 

Banyak hal yang tak kuasa aku jabarkan dengan kata-kata.

Aku tak ingin kembali mengingatnya lagi, tapi tak menjawab pertanyaan mereka malah membuatku seperti pribadi yang tak paham arti menghargai. 

Aku bingung. 

Nanti, saat sudah tak terasa sakit lagi, pasti dengan mantap aku akan mengatakan bahwa rumah itu bukan milikku lagi. Untuk sekarang, aku tak sanggup hanya untuk mengingatnya, sebab banyak kata-kata yang kurangkai terlahir dari lamunan panjangku setiap malam di salah satu ruangan di dalamnya, dan kini kata-kata itu telah kehilangan makna.

Aku butuh waktu untuk memeluk kembali apa yang telah berlalu.

Biarkan aku belajar menerima. 



0 Comments