BDHK: Cahaya yang Meredup #1

Rangkaian Cerita Bersambung yang diambil dari Novel Berawal dari Hanya Kagum (BDHK)

Judul : Berawal dari Hanya Kagum 
Penulis : Devi Sofiyanti

Sebelumnya pernah dipublikasikan dalam sebuah aplikasi buku elektronik pada tahun 2015. Dipublikasikan kembali di blog ini dengan beberapa perubahan.

Berawal dari Hanya Kagum


 

Bagian 1
Cahaya yang Meredup

Kabut masih tebal memburamkan mata, pagi ini langit mendung seperti tak ada cahaya, padahal jam sudah menunjukkan pukul 06.15 WIB. Suasana rumah masih sepi.

Mama masih menunggu papa di rumah sakit bersama kakak perempuanku, Rasya. Sementara aku di rumah bersama Kak Fadly, kakak sulungku, dan Alisya, adikku. Memang, sejak 2 minggu lalu rumah selalu sepi, setiap anggota keluarga selalu bergantian menjaga papa di rumah sakit. Penyakit jantung papa yang kambuh lagi membuat papa diharuskan untuk menjalani perawatan di rumah sakit. 

“Keisya!” teriak kak Fadly dari arah ruang makan.

Aku yang sedang membereskan buku pelajaran hari ini pun terpaksa menghampirinya, aku takut ada hal penting yang ingin kak Fadly sampaikan padaku, sebab tak biasanya ia berteriak seperti ini. 

Kak Fadly terlihat sudah sangat rapi mengenakan kemaja biru mudanya. Ia terlihat seperti ingin berpergian.

“Iya, Kak?”

“Hari ini Kakak bikinin surat izin ke sekolah, tadi kakak udah titipin ke Noella. Kakak juga udah telpon Bu Resna kok.” Ucap kakakku.

Lho kok aku dibikinin surat izin segala? Mau apa sih kak Fadly? Sampai menelpon wali kelasku juga?  Batinku. 

“Mau apa, Kak?” mataku seakan penuh tanya. Lagi pula aku tak biasa membolos sekolah. Biasanya jika ada acara keluarga pun aku lebih memilih tak ikut acara tersebut daripada harus absen sekolah.

“Sekarang kamu ikut Kakak! Kakak ambil kunci mobil dulu.” Kak Fadly berlalu.

Ia kembali menghentikan langkah kakinya, kemudian membalikan lagi badannya, “Oh iya, Alisya udah berangkat sama Nenek tadi. Kakak juga udah kirim surat ke sekolah Alisya.” Kakakku kembali membalikkan badannya dan berlalu begitu saja, padahal aku belum sempat menjawab apapun.

Aku hanya menggelengkan kepalaku dan duduk di kursi meja makan.

Tak lama kakakku kembali menghampiri. 

“Yuk!” ajak kak Fadly. 

“Kemana sih, Kak?”

Kak Fadly tak menghiraukan pertanyaanku, ia terus berjalan ke arah garasi. 

“Cepat naik!” perintah kak Fadly yang sudah lebih dulu masuk ke mobil.

Aku terus memandang wajah kakakku ini, “Mau kemana, Kak? Sampai Keisya harus izin sekolah segala?” 

“Bisa diem gak?” Kak Fadly yang sedang konsentasi menyetir tiba-tiba membentakku, tak biasanya dia begini.

Bulir-bulir bening sudah terkumpul di sudut mataku, aku seperti sudah tak sanggup lagi untuk menahannya. Rasa penasaranku tak berarti apa-apa untuknya.

“Kak?” aku berbicara dengan nada lirih.

“Kei?” Kak Fadly terlihat terkejut melihat wajahku yang sudah dipenuhi air mata, “Jangan nangis, kenapa? Udah jangan cengeng.” Kak Fadly menghapus air mata di pipiku.

Aku hanya bisa terdiam sambil terus memandang wajahnya, keheningan terjadi begitu saja. Tak ada satu pun suara di dalam mobil ini, hanya terdengar deru mesin mobil kami dan suara kendaraan-kendaraan lain di jalanan.

***



0 Comments