Gagal dari Awal

Bagaimana kita dapat mengingat kembali sesuatu yang bahkan tak pernah kita kenal? 

Mustahil, bukan?

Ini akan sedikit canggung. Tak ada aku, tak ada kamu. Semua beralih menjadi saya dan anda.

Namun, di sini saya hanya ingin bercerita tentang Anda, bukan dengan Anda. Sebab, rasanya kita telah begitu jauh dan perlahan luruh. Terlalu biru untuk sekadar membayangkan sama-sama meramu cakap mengenai pilu. 


Baiklah, 

Setelah sekian lama, setelah saya pikir saya tahu segalanya tentang dia. Ternyata salah. 

Semua bermula saat saya merasa ada hal tak biasa ketika berhadapan dengannya. 

Wajahnya, suaranya, dan segala yang melekat padanya adalah sesuatu yang asing bagi saya. Benar-benar terasa asing. 

Mungkinkah waktu yang berjalan terlalu cepat, sehingga saya lupa bagaimana rupanya, suaranya, dan segala tentangnya? Atau dia memang tak lagi sama dengan apa yang ada dalam sisa-sisa memori di kepala? Atau sejak awal saya memang tak mengenalnya dengan sempurna? 

Wujudnya sepenuhnya terlihat dengan jelas di depan mata, dari kaki hingga ujung kepala. Suaranya dengan jelas menggema di telinga. Tapi, ada yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sebuah perasaan yang tak seharusnya dirasa. Wajahnya tak mampu dikenali retina, suaranya asing ditangkap telinga. Semua samar, kata belum mampu melukiskannya.

Siapa sebenarnya yang kini berdiri di hadapan saya? 

Asing. 

Pikiran pun menolak segala informasi yang menyatakan bahwa dia adalah seseorang yang selama ini hidup dalam setiap kata-kata saya. Imajinasi pecah dihantam realita yang tak lagi sejalan dengan sisa bayangnya.

Menggelengkan kepala saja tak cukup rasanya. Tak percaya.

Ribuan hari saya hanya membohongi diri. Berlaga mengetahui segala tentangnya, termasuk perihal isi hati. Nyatanya sangat berbeda sekali, dia bahkan tak sanggup saya kenali.

Terseret memori, terbentur harga diri. 

Runtuh sudah semua keyakinan yang selama ini berada di tingkat paling tinggi. 

Lihat, betapa cepat hidup berubah. Betapa lamban saya mengubah arah. Betapa nyata kata kalah. 

Dari segala tinggi-rendah, pilihan tak akan pernah jatuh pada kata menyerah. Meski begitu, sudah saatnya menerima bahwa tak lagi searah dan kembali melangkah.

Sedari awal, saya telah gagal. Dia tak pernah benar-benar saya kenal.

Mungkin memang sudah berada di jalur berbeda, tapi semua itu kini saya biarkan mengalir apa adanya. 

Akhirnya saya sadar mengapa kami tak lagi sama dalam memilih arah, tak lagi kompak ketika melangkah. Sebab, sedari awal saya memang tak pernah mengenalnya dengan sempurna. Saya  hanya manusia yang mengira seolah tahu segala tentangnya.  Saya lupa, hanya nama dan sebagian kecil cerita yang saya punya selama kami bersama.

Laju waktu dan tempat baru akan menyembuhkan segala pilu. Hanya itu yang saya perlu. 

Banyak hal harus berlalu, banyak hal berharga lainnya menunggu. 

Tidak lagi memaksakan mengingat kembali segala yang tak pernah dengan utuh dikenali.

Yang tak sempat saya kenal dengan sempurna, kini kembali harus saya lupa. 



0 Comments