Between Words | Devi Sofiyanti

Sebuah tulisan untuk menutup lembaran kisah di 2019.




Dunia sibuk.

Aku duduk memperhatikan orang berlalu lalang. Mereka sibuk dengan perannya masing-masing. Beberapa ada yang melintas sambil tersedu dengan langkah berat. Beberapa tertawa lepas karena lelucon yang lucunya tak seberapa. Beberapa melintas dengan senyum merekah tanpa sedikit pun mengeluarkan suara, seolah ada kebahagiaan yang sulit diucapkan kata-kata. Di sudut lain, ada seseorang yang menangis histeris karena seluruh harapannya sirna. Di depanku seseorang tak henti-hentinya mengucap syukur dan meneteskan air mata, seperti bahagianya nyaris sempurna. Ada juga yang melintas dengan wajah cemas, meski banyak pula yang melintas sambil menyeret, memikul, mendorong semua beban mereka dengan senyum menghias wajahnya. Ada yang pada akhirnya pasrah, ada yang bahkan enggan untuk menyerah.

Mereka berjalan seolah tak peduli dengan satu sama lain, beberapa sejenak memperhatikan lalu kembali sibuk dengan seribu urusan, sedikit yang mengamati dan duduk di sisi untuk berbagi senyuman, tawa, dan tangis yang menyelimuti.

Ah, entahlah.
Semua sibuk dengan suka dan dukanya. Dengan drama yang begitu banyak genrenya.

Sedang aku, hanya berdiamkah?

Bisa jadi begitu.

Namun, dalam kepalaku berkecamuk segala pemikiran-pemikiran yang terkadang sulit dimengerti oleh diriku sendiri. Dari mana asalnya? Tak tahu pasti.
Aku memendam. Aku tak hanya berdiam. Aku mengamati apa yang terjadi.
Dari sekian banyak wajah yang kutemui, diam-diam aku bertanya dalam hati. Apakah mereka tak seperti apa yang nampak itu? Sebab, diriku pun tak seperti apa yang kutampilkan. Mungkinkah mereka menangis seolah sengsara, tetapi sebetulnya bahagia, hanya saja mereka tak mampu menyadarinya? Atau justru mereka tersenyum seolah bahagia, namun menyimpan luka yang sakitnya tak terkira, sebab nanar ada di matanya. Ah, aku semakin bimbang.

Apakah aku, apakah kamu, apakah dia, sudah menjadi yang sebenarnya atau masih senang memendam dan menyembunyikan?

Sudahlah, tak apa jika memang kita masih belum dapat terbuka. Orang-orang banyak yang tidak peduli pula. Hanya beberapa jika ada.

Untuk kita, untuk segala yang tak dapat tersampaikan dengan sempurna, berterima kasihlah pada diri yang selalu berusaha menjadi teman setia di segala cuaca. Tangis dan tawa.

Mungkin tak ada teman untuk berbagi, tapi mampu mengatasinya seorang diri. Hebat.
Namun, di balik itu semua, mereka bukan tak peduli pada apa yang terjadi, mereka hanya sibuk menghadapi dirinya sendiri. Jangan salahkan mereka meskipun tak turut menyembuhkan luka dan menemani ketika berbagi bahagia.

Kita hanya manusia.

Tak bisa sempurna.








Untuk seseorang yang perlahan menghilang,

Selamat hari rabu, sudah lama sekali aku tak pernah mendapat kabar tentang keadaanmu. Di mana kamu hari ini? Di tempat yang jauh dari sini, ya?

Kamu menghilang, kita menjadi begitu asing. Aku tak tahu bagaimana lagi caraku agar bisa mengetahui bahwa kamu baik-baik saja hari ini.

Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu aman. Tiada yang menyakitimu seperti aku.

Semoga harimu menyenangkan. Oh, ya, apa yang kamu pikirkan tentang aku hari ini? Apa kamu pikir aku bahagia telah melepaskanmu? Jawabannya, tidak. Tidak.

Aku tak pernah sedikit pun ingin beranjak dari kamu. Tidak. Hanya saja aku harus dapat melindungimu, dari diriku. Aku tak ingin membuatmu terus bersedih karena bersamaku. Aku tak pernah berniat untuk meninggalkanmu.

Aku memutuskan pergi karena tak ingin terus menyakiti. Aku tak ingin keanehan sikapku membuatmu tersakiti. Aku bukan seperti mereka, yang dengan mudahnya mampu menunjukkan rasa cintanya. Aku tak pernah bisa seperti itu. Aku tak pernah bisa menjadi apa yang kamu mau. Aku tak ingin membuatmu berharap begitu banyak padaku, yang jelas-jelas tak mampu memberi sedikit pun.

Aku ingin kamu, hanya kamu, tetap kamu, selalu kamu.

Tapi aku sadar, kamu sudah tidak mau. Dan aku sudah tidak mempermasalahkan itu. Jika bukan kamu, mungkin seseorang yang bukan kamu akan mampu mengerti aku seperti yang kamu lakukan dulu.

Mungkin kamu kecewa pada keputusanku hari itu, tapi hanya itu yang aku mampu. Aku percaya bahwa di luar sana akan ada seseorang yang dapat mengerti kamu melebihi aku. aku percaya bahwa di luar sana ada orang yang akan setia menemanimu. Tak seperti aku.

Ini sudah kedua kalinya aku melakukan hal yang sama. Melepaskan orang-orang yang membuatku bahagia, hanya karena aku tak ingin membuatnya terluka.

Maaf yang tak tehingga untuk hal itu.
Aku tahu bahwa caraku salah. Tapi, hanya itu yang membuatku berhenti resah.
Bukan salahmu. Kamu tak pernah melakukan kesalahan apapun. Bagiku kamu sempurna.
Bukan pula aku tak punya rasa yang sama. Aku juga rasa, apa yang kamu rasa.
Hanya saja aku belum mampu mengendalikan kebebasanku, aku masih belum mampu bersepakat dalam suatu ikatan. Maaf.
Aku tahu hal itu menyakitimu. Tapi, aku juga menyakiti diriku sendiri.

Melepas genggaman tangan yang pernah erat,
Kemudian membangun sekat,
Lalu diujung kalimat,
Aku menyebutnya tamat.

Bodoh memang, namun sekarang aku mulai belajar untuk menghargai apa yang aku punya dan mulai membiasakan diriku dengan ikatan, agar kelak aku tak akan lagi mengecewakan seseorang.

Untuk kamu,
Terimakasih, sebab pernah datang.



Hilang

Tak pernah terdengar lagi orang menyebut namanya, apalagi mendengar suaranya.
Dia tidak di sini, tempat kami telah berbeda.
Dia dengan dunianya, aku pun di sini dengan duniaku.

Tentangku di hidupnya hanya tinggal sebuah nama dengan cerita, tak lebih. Namun, tentangnya di hidupku lebih dari itu. Entah mengapa aku selalu menganggap dia lebih dari seharusnya. Meski di mataku dia tak pernah lagi bercermin. Di telingaku, ia tak pernah lagi bersuara. Tapi di pikiranku, ia selalu berhasil menjadi sesuatu yang tak pernah kulupa.

Ingin sekali sehari saja tidak mengingatnya. Sayangnya, itu terlalu sulit.

Ia selalu muncul sesaat setelah aku memejamkan mata. Seolah dekat, namun tak pernah bertatap. Jauh, namun selalu ada.

Aku pikir ini gila.

Tapi aku terlalu berlebihan jika mengatakan ini gila, sebab di luar sana banyak orang yang mengalami hal serupa. Banyak temu palsu yang sengaja dihadirkan rindu di mimpimu. Begitu kan?

Bayangkan, jika ia terus menghantui tanpa pernah menemui.

Mungkin akan banyak sekali tulisan yang mewakili.

Semakin lama, semakin tak terkendali.

Entahlah. Aku heran, mengapa aku tak pernah bosan menjadikannya sebagai bahasan.

Harusnya aku mengerti bahwa sebanyak apapun tulisanku, tak pernah ada satu pun yang akan dia baca. Harusnya aku mengerti sebanyak apapun tulisanku, tak akan pernah membuatnya mengerti. Harusnya aku mengerti sebanyak apapun tulisanku, tak akan pernah membuatnya kembali.

Tak ingin memiliki, tapi ingin dia ada di sini.

Aku hanya ingin itu. Tapi kenapa harus serumit ini?

Entahlah. Kami telah berbeda.
Tak lagi satu.
Kami adalah dua berbeda
Yang melepas diri dari kata satu.










Sesuatu yang kau sebut utuh.

Kita terlalu.

Berlebihan.

“Aku setengah, sedang kamu tiga per empat.” Kataku.

Kamu tersenyum. “Bukankah itu tak masalah? Kita lebih dari penuh.”

“Oleh sebab itu, kita bermasalah.”

“Bagaimana bisa?”

“Sesuatu yang kurang, itu buruk. Yang seimbang, itu pas. Namun, kita lebih. Terlalu. Itu tidak baik.”

Aku berhenti berbicara.

Kamu melakukan hal yang sama. Kita hening.

Harusnya kamu tahu bahwa yang dibutuhkan di sini bukanlah siapa yang memberi lebih, melainkan yang saling melengkapi dengan porsi yang sama, agar tak terjadi ketimpangan. Jika aku satu per empat dan kamu tiga per empat, mungkin kita akan utuh, tapi aku takkan pernah merasa penuh. Begitu pun sebaliknya.

Berbeda apabila kamu setengah dan aku pun setengah. Biar tak ada yang merasa paling hebat diantara kita. Biar tak ada yang merasa kurang diantara kita. Biar kita cukup. Saling mengisi.

Dan bagiku kamu banyak kata terlalu.

Dalam warna pun begitu.
Kamu terlalu abu untuk aku yang ragu,
Kamu terlalu biru untuk aku yang pilu,
Kamu terlalu hitam untuk aku yang muram.
Jangan tambahkan bunga yang berguguran, sebab aku takkan berubah pikiran.
Kita banyak kata ‘terlalu’ sehingga sulit menyatu.

Berlebihan.
Jika abu, biru, hitam yang terlalu pekat membentuk gelap, apa yang bisa kudapat?

Sendu. Sedih.

Kelam.
Kita buram.

Bayangkan jika kamu memberikan warna-warna itu sesuai porsinya. Tidak terlalu gelap. Mungkin ketenangan yang akan kudapat. Namun, lagi-lagi kamu selalu memberiku yang ‘terlalu’ banyak.

Kita saling mengisi, namun kamu selalu mendominasi.

Tak utuh.
Sebab terlalu penuh.



Untuk Diriku, 
Terimakasih untuk segala bahagia yang kau cipta, maaf untuk setiap luka yang terasa.

Diriku, 
Harus kamu ketahui bahwa setiap perjalanan yang kita lalui adalah sebuah petualangan yang paling berharga. 

Terimakasih untuk selalu memeluk erat saat dunia bahkan enggan untuk sekedar melihat. Terimakasih untuk segala tawa disaat duka dan luka mendera tanpa jeda. Terimakasih untuk segala sabar saat segalanya terasa hambar. 

Maafkan diri ini yang terkadang dengan sengaja melukaimu, hanya untuk melihat orang lain bahagia. Harusnya aku tahu bahwa kamu juga punya perasaan yang harus aku jaga. Sebab, jika bukan aku yang menjaganya, siapa lagI? Kamu adalah aku, setiap hal yang terjadi padamu adalah tanggungjawabku. 

Maaf untuk selalu membanding-bandingkanmu dengan yang lain. Pedahal aku tahu bahwa setiap individu memiliki jalan dan pencapaian yang berbeda.

Maaf untuk selalu memaksamu memahami, apa yang tak mampu kau mengerti. 

Terkadang aku merasa kamu lamban, tapi akulah yang terlalu ambisius. 

Sekali lagi, maaf.

Maaf untuk membuatmu terus bekerja saat lelah.
Maaf untuk membuatmu menangisi hal-hal konyol. 
Maaf untuk menyalahkanmu ketika gagal. 
Maaf untuk makanan tak sehat yang kumakan.
Maaf untuk kebiasaan buruk yang sulit dihentikan.

Aku bersyukur sebab kamu adalah aku. 
Atas segala ketidaksempurnaan yang melekat pada diri ini. 
Atas segala kerumitan cara berpikir yang kadang sukar dipahami orang lain. 
Atas segala impian-impian yang sedang diperjuangkan.
Aku merasa begitu beruntung menjadi kamu, diriku. 





“Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendo’akan keselamatanmu.” – Sapardi Djoko Damono

Sudah lebih dari seribu malam kita terpisah. Menjalani hari-hari penuh lelah tanpa pernah saling berpapasan langkah. Bagaimana kabarmu hari ini? aku kira kamu baik-baik saja.

Kita berperan normal, biasa. Seolah tak pernah ada jumpa. Kita hanya dua manusia yang kebetulan pernah ada dalam cerita yang sama, namun pada akhirnya memilih untuk saling melupa.

Terimakasih, ya.

Terimakasih untuk segala pengalaman berharga. Aku masih ingat bahwa kamu selalu berusaha membuatku bahagia, meski sering aku membuatmu terluka. Tingkahku selalu tak biasa, mungkin apabila aku berada di posisimu, saat itu juga aku akan memilih untuk berhenti. Berhenti membuat orang yang melukai bahagia.

Namun, kamu tidak.

Dengan suka rela kamu terus mempertahankan agar cerita kita berlanjut tanpa kendala. Lagi-lagi kamu memaafkan segala kesalahan yang aku perbuat, aku heran mengapa ada manusia sebaik kamu. Lebih heran lagi ketika manusia sepertimu dipertemukan dengan aku. Harusnya yang lebih pantas denganmu adalah dia yang sama baiknya dengan kamu. Ah, sudahlah. Tak ada habisnya membicarakan kebaikanmu itu.

Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku masih di sini, mengamatimu dari jauh. Memperhatiakan setiap aktivitasmu yang dapat kulihat.  Masih sama di tempat yang dulu, tak pernah beranjak sedikit pun. Tapi jangan khawatir, aku sudah merencanakan untuk berlari, mencari tempatku sendiri. Takkan mengganggumu lagi.

Aku bahagia, melihatmu bahagia.
Aku bersedih, melihatmu terluka.
Meski  aku tak dapat lagi secara langsung menunjukkannya, aku selalu berdo’a  agar kamu selalu berada dalam lindungan-Nya dan tentunya berbahagia. Di mana pun, bersama siapa pun, semoga kebaikan selalu menyertai setiap langkahmu itu.

Jika memang kita bersama akhirnya, aku bahagia.
Jika tidak, tak apa.

Namun, ada satu harapku;
Bila takkan lagi ada cerita
Kuharap ada satu figura
Dan di dalamnya kita bersama
Sebagai kenang yang paling nyata.


Semoga dipertemukan dengan dia yang dapat membuatmu bahagia. 






Apa kabar hari ini?

Mungkin dia bosan setiap kali membaca pertanyaanmu itu.

Tulisan ini aku ciptakan untukmu.

Ya, kamu seorang manusia keras kepala yang masih saja sibuk memikirkannya, meskipun di sisi lain kamu tahu bahwa kamu sudah bukan lagi bagian dari dunianya.

Sedih sekali bukan?

Tentu.

Setiap orang berhak untuk berubah, berhak untuk memilih jalannya sendiri, begitu pula dia. Tiada yang bisa melarangnya, apalagi kamu. Ia tak bisa kamu suruh menjadi seperti apa yang kamu ingin. Tentangmu saja baginya sudah kadaluwarsa.

Lucu sekali ketika melihatmu yang seolah tak ingin melihatnya berubah dan memilih jalannya sendiri. Harus kamu ketahui bahwa kamu tak lagi berarti. Kamu hanya kisah yang akan menjadi bagian dari memori, tak ada hak untuk ikut campur lagi. Kamu dan dia sudah tidak ada apa-apa hari ini. kamu jangan terlalu bersedih melihatnya pergi, sebab kamu pun banyak ingkar janji.

Memang lebih baik begitu.

Akhiri.

Dia memiih mengakhiri.

Dia sudah enggan untuk melihatmu berlalu-lalang, meski hanya lewat dunia maya, tempat di mana kamu berbagi. Dia memilih untuk benar-benar lepas, tak ingin lagi menjumpai.

Kamu harusnya mengerti.

Mengerti bahwa hati bisa berubah kapan saja tanpa kau kehendaki. Mungkin inginmu dia tetap menanti, tapi dia juga punya hati. Dia punya mimpi, oleh sebab itu dia pergi. Dia sadar menanti takkan membuatmu kembali. Entah dia memilih sendiri atau bersama orang lain yang menemani. Kamu harusnya tahu diri. Kalian sudah sepantasnya tak bersinggungan lagi. Dan jika dia sudah menemukan pengganti, semoga kamu lekas menghapus keinginan untuk kembali.

Kamu dan dia sama-sama punya mimpi. Dan mungkin tentang kalian harus diakhiri, supaya langkah kalian tak terbebani oleh perkara luka-melukai yang dulu pernah membuat kalian hampir membenci.

Semoga tiada benci setelah ini.

Semoga kalian bahagia dengan jalan yang kalian pilih sendiri.

Dan untuk kamu, katakan ini padanya, “Pergilah kemana pun kamu mau. Aku akan berusaha untuk tidak lagi menoleh, melihat langkahmu menjauh. Biar kamu tidak ragu dengan jalan yang akan kau tempuh. Biar tentang kita hanya menjadi suatu hal yang ‘pernah’ hampir penuh.”

Dan ini dariku, untukmu; duniamu takkan runtuh hanya karena seseorang memilih luruh. Meski memang kamu tak lagi utuh.

Berlarilah jangan berhenti sampai segala inginmu terpenuhi. Raih mimpi-mimpi.

Kamu harus membuat dirimu bahagia. Di sana, dia juga sedang berusaha membuat dirinya bahagia, meski cara kalian berbahagia sama-sama terkesan hampa.
Namun, ingatlah...

Bahagiamu utama.



Kotak Kenangan

People come and go.

Datang dan pergi. Begitulah.

Beberapa tahun lalu, seseorang pergi dari hidupku. Namun, sayangnya ia tak membawa serta kenangan-kenangan yang bergentayangan di setiap malamku. Akhirnya, beberapa waktu setelah kepergiannya, aku memasukan semua kenangan pada sebuah kotak kayu tua.

Semoga kamu tidak lagi mengganggu malam-malamku. Kataku.

Kuletakan kotak tersebut di sudut kamar.

Aku memang tak menyukai kenangan-kenangan itu mengganggu lelapnya tidurku, namun aku juga enggan bila harus memisahkannya dari kamar tidurku. Bagaimanapun, kenangan-kenangan itu pernah membuatku tersenyum hingga tanpa sadar beralih ke dunia mimpi. Mimpi-mimpi yang indah pada masanya.

Beberapa hari setelahnya, aku memang senang sekali menatap kotak itu. Bahkan, ingin kulepaskan lagi segala kenangan itu. Aku senang dihantui hal-hal yang indah. Tapi, membiarkannya lepas mengelilingiku lagi, rasanya tak mungkin. Hanya kesedihan yang akan kudapatkan, sebab tak dapat mengulang semuanya lagi.

Saban hari aku membersihkan kotak tua itu.

Segala hal indah ada di dalamnya. Kataku.

Hingga suatu hari, aku mulai merasa bahwa membersihkan kotak itu hanya akan membuatku menjadi manusia yang tak bisa bergerak maju. Selalu dihantui bayang-bayang masa lalu. Meski ia telah terpendam membisu. Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak lagi peduli.

Mungkin kotak itu akan dihinggapi rayap, dipenuhi jaring laba-laba. Aku tak peduli. Seluruh isinya sudah tak lagi kuingini. Walaupun berat rasanya harus berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa benda-benda di dalamnya sudah tidak berarti.

Kemudian perlahan aku mulai melupa. Benar-benar lupa.

Keberadaan kotak itu seolah lenyap, tak lagi nyata.

Hari-hari berjalan normal seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Rasanya bahagia.

Dikelilingi oleh orang-orang baru, menulis kenangan-kenangan baru, membaca setiap alur kehidupan yang baru. Semuanya terasa lebih menyenangkan.

Sayangnya, semua tidak bertahan lama.

Bertahun-tahun setelah kotak itu tak lagi kusapa, tiba-tiba saja ada bayangan yang berkelebat di depan mataku. Mengganggu tidurku. Bahkan, sampai berani masuk ke dalam cerita indah di mimpiku. Seberani itu. Pedahal ia sudah lama terlupa.

Di mimpiku, kotak tua yang usang itu terlihat begitu menawan. Bunga-bunga tumbuh indah, mencuat dari dalamnya. Tak ada kesan lusuh, kotak itu terlihat begitu indah. Ingin lagi memeluk semua kenangan indah di dalamnya.

Keesokan harinya saat mataku terbuka dari lelapnya tidur, akhirnya aku memberanikan diri menghampiri kotak tua itu. Dapat kucium wangi kenangan yang manis dari benda yang tertutup debu.

Kemudian ku keluarkan semua benda di dalamnya. Memeluknya satu persatu. Tak ada lagi yang lebih membahagiakan selain berdamai dengan segala kenangan itu. Semuanya terasa begitu ringan, pada akhirnya.
Aku tersenyum.

Saatnya kembali menata kenangan. Sebab ia tak layak di lupakan. Mungkin lebih baik bila terus diabadikan. Karena semakin berusaha untuk dilupakan, semakin ia mengeras ingin terus dipikirkan.

Memang manusia datang dan pergi, namun kenangan abadi. Selalu.







Abadi

Seseorang yang Kini Berada dalam Ketenangan.
Sebuah kerinduan yang akan selalu menghantui.

Untuk seseorang yang pernah kehilangan.

Tiada yang paling menyakitkan, selain kehilangan ia yang begitu kamu cinta.

Kilau baru datang mengusir segala mimpi buruk yang mengganggu tidurmu. Kamu beranjak dari tempat tidurmu, mencoba menepis ingatan-ingatan penuh pilu.

Kursi itu kosong, lalu kamu tersenyum.

Kamu membuatkan minuman hangat untuk dirimu, lalu duduk sendiri. Sepi.

Keheningan seolah menarikmu pada memori saat ia masih di sini.

Saat ia tersenyum ke arahmu setiap pagi datang, saat ia menyiapkanmu sarapan, saat ia mendengarkan ceritamu dengan tenang dan karenanya kamu senang. Kemudian teringat olehmu ketika suaranya begitu mendominasi di telingamu ketika kamu pulang menuju malam, ia mengkhawatirkanmu. Namun, semua itu sekarang hanya bisa dikenang.

Sesekali suaranya seolah mengajakmu berbicara, namun itu hanya khayalmu saja. Sesekali kamu melihat sosoknya tersenyum, tertawa, namun itu hanya bayangan semu saja. Setiap hari semua itu terus berulang. Tak peduli ketika matamu terpejam atau terbuka.

Kamu merindukannya, lebih dari sekedar rindu. Rindu yang tak dapat lagi berbuah temu.

Dapat selalu bertemu di mimpi adalah harapmu. Rindu yang paling sendu juga pilu, rindu abadi sepanjang waktu.

Ingin rasanya kembali menemuinya hanya untuk melihatnya tersenyum.

Meski inginmu lebih.
Kamu ingin bercerita padanya tentang mimpi-mimpimu, tentang orang-orang baru, tentang seseorang yang sedang kamu tunggu, tentang segala hal yang terjadi selepas ia tak lagi denganmu.
Bahkan terkadang kamu ingin memeluknya, karena hanya dia rumah di mana tidurmu lelap dalam dekapnya. Hanya dia, yang lain tak akan pernah mampu.

Bagaimana bisa rindu ini berakhir, sedang dalam dirimu terdapat darahnya mengalir. Darinya kamu terlahir. Dan kamu mencintainya tak akan pernah berakhir. Abadi.

Mencintainya, merindukannya, hingga tiba masanya untuk kamu menyusulnya ke sana.

Sesuatu yang kausebut Abadi.




Raguku


Untuk setiap kata yang tak mampu bersuara.

Semoga tulisan ini cukup mewakilimu untuk bercerita.

Mereka terus menghakimi, melabelimu bak seseorang yang hanya mementingkan diri sendiri. Namun, kamu juga tak dapat menyalahkannya. Sebab, kamu juga bersalah. Kamu juga enggan membuka diri untuk bercerita tentang segala sesuatu, yang pada akhirnya hanya membuatmu menjadi manusia yang begitu takut untuk percaya pada yang lainnya. Kamu terlalu rapat menyimpan segala benang kusut itu dalam kepalamu, bahkan hatimu saja kau abaikan ketika ia hendak memberi saran. Dan, kamu tahu itulah mengapa orang lain menyebutmu tak punya hati.

Tapi di sini, aku tidak akan terlalu menyudutkanmu. Aku mengerti bagaimana rasanya menyimpan segala sesuatu sendiri. Bukan tak percaya pada manusia lain yang selalu mengelilingi, hanya saja akan sangat menyakitkan jika kamu memutuskan untuk berbagi. Bagimu, cukup kamu yang merasakannya sendiri, tak ingin orang lain terbebani dengan jalan pikiranmu yang bahkan sulit kau selami.

Kamu hanya ragu.

Kamu ragu dengan apa yang terjadi. Kamu takut. Takut apa yang kamu jalani hanya sebatas imajinasi. Bahkan saat orang lain melihatmu bahagia, kamu sendiri tak pernah meyakini bahwa kebahagiaan itu nyata. Ketika kamu mulai menyadarinya, kamu kemudian ketakutan. Takut sebab semuanya hanya fana. Dan lagi-lagi kamu ragu; bahagiamu itu nyata atau tidak.

Pada akhirnya, kamu memilih untuk tidak merasakan kebahagiaan itu. Kamu memilih meninggalkannya. Tanpa sadar dengan begitu, kamu juga telah merampas kebahagiaan orang lain. Ya, orang yang menjadi sumber bahagiamu; orang yang juga bahagia bersamamu. Kamu meninggalkannya, sebab kamu teralu takut bahagia. Mungkin hal itu baik bagimu, tapi tidak untuk orang lain.

Hingga kemudian setelah kamu menyuruhnya pergi, keraguan itu mulai bisa terkendali. Kamu mulai dapat menerima bahwa segala sesuatu itu tiada yang abadi. Kamu mulai mencari ke mana dia beranjak setelah kamu menyuruhnya angkat kaki. Namun, dia tak dapat kau jangkau lagi.

Sayup-sayup kau dengar bahwa dia mulai ragu.

Ragu dengan dirimu, seperti apa yang kamu rasakan terhadapnya dulu.

Lalu akhirnya, kamu hanya dapat terpaku.
Namun, sesaat kemudian menyuarakan pilu yang menyelimutimu,

“Perihal keraguanku yang membuatmu ragu.
Keraguan untuk terus bertualang atau pulang. Bimbang diantara harus bersama bersenang-senang atau sendirian mengenang.”

Katamu.

Mungkin hanya itu yang mampu kamu sampaikan.

Kamu boeh bernapas lega. Ragumu kini telah tersuarakan.



Mendengarkan

Aku mendengarkanmu. Ya, mendengarkan.

Aku mendengarkanmu, bahkan ketika kamu tak mampu menyuarakan kata.

Aku mendengarkanmu, jangan khawatir. Aku memang terkadang tak langsung menanggapi keluh kesahmu, tapi percayalah aku selalu mendengarkanmu. Kamu mungkin merasa aneh, tapi bukan kah itu yang kamu perlu? Seseorang yang mendengarkan tanpa menghakimi?  Aku tahu bahwa yang kamu butuhkan bukanlah sebuah jawaban atau sekedar basa-basi belaka, di dengarkan saja sudah lebih dari cukup bagimu.

Aku suka sekali cerita-ceritamu. Harus kamu ketahui bahwa tak merespon bukan berarti tak peduli, aku hanya ingin mendengarkan, tanpa memberi penilaian. Telingaku tak pernah lelah untuk menyambut setiap kata yang kamu ucapkan. Aku menikmatinya, oleh sebab itu tak ada waktu bagiku untuk memikirkan respon mengenai segala apa yang kamu katakan. Bukankah lebih baik aku mendengarkanmu dengan menyelami setiap emosi yang kamu lisankan daripada harus siap siaga memberi respon, tanpa benar-benar paham. Karena kamu sedang bercerita bukan bertanya. Mendengarkan adalah tugasku yang utama.

Aku suka sekali binar matamu ketika kamu bercerita tentang kebahagiaan, tapi aku juga tak kuasa melihat matamu berkaca-kaca karena kesedihan. Sebisa mungkin aku ingin kamu bercerita dengan nyaman, meski terkadang kamu memiliki banyak beban. Namun, berbagilah jangan sungkan.

Aku berkata demikian karena aku juga pernah merasakan. Aku bisa merasakan ketika seseorang mendengarkanku dengan penuh perhatian, dan ketika seseorang mendengarkan hanya untuk memberi jawaban. Jujur, aku lebih nyaman ketika orang tersebut memberiku perhatian tanpa jawaban, dibandingkan harus mendapatkan jawaban tapi ia tak sepenuhnya mendengarkan.

Mungkin opinimu takkan sama denganku, sebab setiap manusia memiliki jalan pikiran yang berbeda. Namun, inilah kejujuran yang dapat aku ungkapkan, semoga kamu dapat menerimanya dengan penuh pengertian.

Jangan pernah merasa diabaikan, aku di sini untuk mendengarkan.

Kamu harus tahu, mendengarkanmu aku tak pernah dilanda bosan.




Setiap orang memiliki mimpi. Bahkan banyak sekali mimpi.

Mimpi-mimpi itu menunggu untuk diperjuangkan dan harus diwujudkan. Ada yang memang dapat terwujud dan ada pula yang hanya disimpan abadi sebagai impian. Penyebabnya beragam, bisa dari diri kita sendiri atau bahkan dari dunia luar.  Banyak mimpi-mimpi yang gugur karena campur tangan orang lain. Sampai pada akhirnya, mimpi itu takkan pernah terjadi. Begitu banyak sekali dari kita yang tega membunuh impian diri sendiri, bahkan mimpi orang lain.

Aku pun pernah meragukan mimpiku sendiri, mencoba membunuhnya. Namun, mimpiku lebih kuat dari raguku, sehingga semakin kucoba melenyapkannya, semakin ia tampak nyata. Hal itulah yang membuatku mengurungkan niat untuk membuatnya tiada, kubiarkan ia tetap ada. Dan aku kembali memperjuangkannya.
Aku tak berani membunuh mimpiku sendiri. Oleh sebab itu, tidak ada hak bagiku untuk menyuruhmu menghapus mimpimu. Sesuatu yang sangat ingin kau raih.

Dulu, aku meragukanmu. Lebih tepatnya meragukan mimpimu. Karena apa yang ada di dirimu, pastilah akan jadi bagian dari aku. Namun, perlahan kamu membuatku menyadari bahwa mimpimu patut untuk aku apresiasi. Dia membuatmu lebih besinar, dan aku suka sinarnya. Terima kasih telah membunuh raguku tentang mimpimu.
Mulai sekarang aku mendukungmu. Silakan kamu kejar mimpimu, raih dia, dan berbahagialah. Maaf, sebab aku pernah meragukannya. Maaf, sebab aku mengurungmu dalam ruang sempit, sementara di dunia luar mimpimu sedang menunggu. Selama ini aku hanya memberimu jendela, sebagai tempat untukmu agar dapat tetap melihat mimpi-mimpi itu. Namun, kini aku sadar bahwa yang kamu butuh adalah pintu yang dapat mengantarkanmu menuju dunia luar untuk mengejarnya, meraihnya, dan berbahagia sebab berhasil mendapatkannya.

Dan setelah kamu mendapatkan itu semua, kamu bisa memilih untuk tetap berkelana di luar sana meraih mimpi yang lainnya atau pulang ke ruang sempit. Aku berharap kamu memilih untuk tetap di luar sana. Kamu bebas di sana, tiada lagi tembok pembatas.

Terima kasih, sebab pernah bertahan di ruang sempit yang sempat merenggut kebebasanmu dalam mengejar mimpi.
Terima kasih, pernah dengan sukarela dipenjara. Selamat berjuang, kamu layak berbahagia bersama mimpimu di luar sana. Maaf, aku tak dapat mengikutimu, dunia kita berbeda. Aku tak ingin lagi memaksa. Sampai jumpa!
Untuk diri kita di masa depan,


Hari ini tanggal tujuh bulan Februari di tahun 2019, aku menulis surat ini untuk kita. Untuk aku yang menulis dan untuk kamu, siapa pun yang membaca.

Kemarin dan hari ini mungkin kamu akan mengalami banyak sekali kesulitan, tapi kehidupan yang sesungguhnya belum juga dimulai. Tahun ini adalah tahun terakhirmu untuk bermalas-malasan. Tahun ini adalah awal dari segala kesempatan yang akan datang.
Nanti suatu hari jika kamu membaca tulisan ini lagi, kamu akan menyadari sejauh mana diri ini mampu berlari, pencapaian apa saja yang telah kau raih, siapa saja yang menemanimu melewati hari-hari.
Kau boleh gagal berkali-kali, tapi bangkitmu harus lebih banyak lagi. Mungkin hari ini kamu masih belum menentukan masa depanmu. Bahkan kau bingung akan melangkahkan kaki kemana, tujuan hidup saja kau tak punya. Yang kau tahu adalah bahwa kau bernafas dan dapat membuka mata. Di setiap hari-hari kau selalu bertanya tentang kemana hidup akan mengalirkanmu untuk bermuara.

Saat menulis kata-kata ini, ketahuilah bahwa aku sedang mengalami banyak kegagalan. Hanya saja aku ingin membuat diriku lebih tenang, walau tahu ini hanya akan sedikit menenangkan. Berulang bayangan tentang kegagalan melintas di dalam benakku. Sejenak aku mengutuk diriku sendiri. Berkata bahwa ia adalah manusia bodoh dan lemah. Tidak memiliki kemampuan apapun, tidak memiliki kelebihan apapun. Hingga kemudian aku tersadar bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Hanya saja aku yang belum menyadari apa yang aku miliki, hanya saja aku yang kurang bersyukur dalam hidup yang kujalani.
Kegagalan itu perlahan kutepis, aku tak boleh larut di dalamnya terlalu lama lagi. Itulah sebabnya aku menulis kata-kata ini. Sebab aku bukanlah orang yang pandai bercerita tentang segala rasa. Mungkin dengan menuliskan hal ini tidak akan dapat membuat masalahku selesai dan kegagalanku berubah jadi keberhasilan. Namun setidaknya, dengan terciptanya tulisan ini, aku ingin menyemangati diriku sendiri, dan barangkali jiwa lain yang juga sedang di posisi ini.

Mari kita lanjutkan kembali mimpi yang sempat terhenti karena kegagalan yang tak kita kehendaki, masih banyak jalan yang menunggu untuk kita pijaki. Jika gagal hari ini, jika kecewa hari ini, jika sedih hari ini, masih ada esok hari yang menanti. Jangan menyerah hari ini, teruslah berlari kejar segala mimpi sampai Tuhan memanggilmu untuk kembali.


Salam bahagia, untuk semua yang menyempatkan waktunya membaca semua kalimat ini.




Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TEMUKAN SAYA

TERPOPULER

  • Pengalaman Beli Buku di Grobmart
  • Film Pendek di Disney+ Hotstar yang Wajib Kamu Tonton!
  • BerbicaraTentangBuku: Novel The Magic Library (Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken) karya Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup
  • Mendengarkan
  • Raguku
  • Cara Membedakan Buku Asli dan Bajakan
  • Cara Mengatasi Rasa Jenuh Saat Membaca
  • Cerita: Lazuardi [Bagian 1]
  • BerbicaraTentangBuku: Matilda karya Roald Dahl
  • Diriku yang Aku Kenal

KATEGORI

  • #30DaysWritingChallange 10
  • Cerita 24
  • Cerita Bersambung 2
  • DAY 1 : Describe your personality 1
  • Lazuardi 2
  • Puisi 5
  • Serba-serbi Perbukuan 15
  • Tentang Film 5
  • Tentang Kehidupan 41
  • Ulasan Buku 17
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
deefesef
Hi, Devi di sini! Menuliskan apa yang tidak akan pernah dia baca, juga menulis tentang berbagai rasa dan tanya, serta banyak hal lainnya. Temui saya di : @deefesef (Instagram)
Lihat profil lengkapku

ARSIP

  • ►  2023 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2020 (85)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (27)
    • ►  Agustus (16)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
  • ▼  2019 (13)
    • ▼  Desember (1)
      • Dunia Sibuk
    • ►  Juli (3)
      • Untuk yang Pernah Datang
      • Hilang
      • Utuh
    • ►  Juni (4)
      • Untuk Diriku
      • Untuk Kamu
      • Jalan Sendiri
      • Kotak Kenangan
    • ►  Mei (3)
      • Abadi
      • Raguku
      • Mendengarkan
    • ►  April (1)
      • Mimpi
    • ►  Februari (1)
      • Untuk Diri Kita di Masa Depan
  • ►  2018 (5)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Januari (1)
  • Beranda
  • Rangkaian Kata
  • Ulasan Buku

© - Devi Sofiyanti | Designed by OddThemes